WASHINGTON, KOMPAS.TV – Pengiriman sistem persenjataan anti-rudal canggih THAAD Amerika Serikat (AS) ke Israel, bersama dengan 100 tentara untuk mengoperasikannya, menandai eskalasi signifikan keterlibatan AS dalam perang Israel yang semakin meluas, yang telah lama didanai secara besar-besaran oleh Washington.
Pengiriman ini, yang dipersiapkan untuk menghadapi potensi serangan Iran sebagai tanggapan atas serangan Israel, menimbulkan pertanyaan tentang legalitas keterlibatan AS. Terutama ketika dukungan tanpa syarat Presiden Joe Biden untuk Israel mendapatkan kritikan, sebagaimana dilaporkan Al Jazeera, Rabu (16/10/2024).
Di saat yang sama, pejabat AS mulai mengancam akan menegakkan hukum yang melarang bantuan militer ke negara yang menghalangi bantuan kemanusiaan, seperti yang sering dilakukan Israel di Gaza. Namun, ancaman tersebut belum diikuti dengan tindakan nyata.
Pada konferensi pers Selasa, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, menolak menjelaskan apa konsekuensinya jika Israel gagal mematuhi permintaan AS. Ketika ditanya lebih lanjut mengenai perbedaan ancaman ini dengan ancaman sebelumnya yang tidak terealisasi, Miller mengatakan, “Saya tidak akan membicarakannya hari ini.”
Dalam surat yang bocor pada Selasa, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin meminta Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dan Menteri Urusan Strategis Ron Dermer untuk mengambil langkah-langkah "konkret" guna memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza dalam 30 hari. Meski pengiriman ribuan bom ke Israel sempat ditunda awal tahun ini, AS tetap melanjutkan pengiriman senjata meskipun Israel memperluas serangannya di Gaza dan kemudian ke Lebanon.
“Surat yang ditandatangani oleh Blinken dan Austin menunjukkan tingginya tingkat kekhawatiran, dan ancaman yang tersirat, meskipun belum jelas apakah pemerintahan ini akan benar-benar menerapkannya,” kata Brian Finucane, mantan penasihat hukum di Departemen Luar Negeri AS dan penasihat senior di International Crisis Group kepada Al Jazeera.
Menurut Finucane, hukum-hukum yang mengatur konflik ini telah ada selama berlangsungnya konflik, namun pemerintahan Biden tidak menegakkannya.
“Mungkin kondisi di Gaza utara sudah begitu parah sehingga perhitungan politik berubah, dan mereka akhirnya memutuskan untuk menerapkan hukum AS. Tetapi, keputusan ini sudah jauh terlambat,” tambahnya.
Baca Juga: Macron Peringatkan Netanyahu: Israel Ada karena Keputusan PBB Dirikan Negara Arab dan Negara Yahudi
Marwan Bishara, analis politik senior Al Jazeera, dengan tegas menyatakan bahwa surat AS yang memberi Israel tenggat waktu 30 hari untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan ke Gaza, atau kehilangan akses ke pendanaan senjata AS, hanyalah taktik Washington untuk terus menutupi genosida yang dilakukan Israel di Gaza selama setahun terakhir.
Menurut Bishara, pemerintahan Biden hanya berusaha membuat jejak dokumentasi seolah-olah mereka memperingatkan Israel, padahal di balik layar, senjata dan uang terus mengalir.
"Inilah permainan mereka, memberi senjata di satu tangan, sambil di tangan lain berpura-pura menunjukkan keberatan yang disebarluaskan ke publik," ungkapnya kepada Al Jazeera.
Bishara menambahkan bahwa AS terus memperlihatkan keberatan yang ‘kosong’ terkait tindakan Israel, tetapi di saat yang sama memberikan lebih banyak senjata, uang, dan perlindungan diplomatik yang memungkinkan Israel melanjutkan genosida, baik di Gaza, Tepi Barat, maupun Lebanon.
"Setiap kali pejabat Amerika mengatakan mereka ‘prihatin’, itu hanya omong kosong. Ketika 1.000 anak meninggal di Gaza, mereka bilang mereka ‘prihatin’. Ketika 40.000 lebih warga Gaza tewas, mereka masih ‘prihatin’. Ketika Israel menyerang Lebanon, mereka tetap ‘prihatin’. Ini hanya kedok, dan sudah tidak lagi bisa dipercaya," tegas Bishara.
Bishara juga menyentil pernyataan bahwa AS prihatin soal kelaparan, padahal Netanyahu dan Gallant sudah dituduh di Pengadilan Kriminal Internasional karena menggunakan kelaparan sebagai senjata.
"Sekarang, Blinken dan Austin ingin meyakinkan kita bahwa AS ‘prihatin’ soal kelaparan? Tolonglah, berhentilah berpura-pura," pungkasnya.
Keterlibatan Lebih Dalam di Perang oleh Israel
Sementara ancaman AS tetap diragukan, pengiriman pasukan AS ke Israel menandakan dukungan AS yang lebih nyata, terlepas dari memburuknya situasi kemanusiaan. Sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) yang canggih kini menambah lapisan perlindungan Israel terhadap kemungkinan serangan rudal balistik dari Iran. Biden menyebut pengiriman ini dilakukan "untuk membela Israel."
Pengumuman rencana pengiriman persenjataan canggih itu dilakukan di tengah peringatan dari pejabat Iran bahwa AS membahayakan pasukan mereka dengan mengirim pasukan ke Israel.
Abbas Aragchi, Menteri Luar Negeri Iran, menegaskan, “Kami telah berusaha keras untuk mencegah perang total di kawasan kami, namun saya dengan tegas mengatakan bahwa kami tidak memiliki batas merah dalam membela rakyat dan kepentingan kami.”
Pakar hukum, seperti Brad Parker dari Center for Constitutional Rights, menilai tindakan AS ini sebagai bukti bahwa Biden lebih berfokus memastikan Israel tetap diuntungkan, meskipun situasi memburuk.
"Alih-alih mengendalikan situasi atau menahan para pejabat Israel, Presiden Biden malah berusaha meyakinkan para pemimpin Israel bahwa dia sepenuhnya mendukung mereka, meskipun mereka terus mengarah pada perang regional dan eskalasi kampanye genosida terhadap Palestina," kata Parker.
Parker juga menekankan pemerintahan Biden berusaha mengandalkan argumen hukum yang sempit untuk membenarkan tindakan sepihak yang melanggar hukum AS dan hukum internasional.
Baca Juga: AS Desak Israel Perbaiki Situasi Kemanusiaan di Gaza, Bantuan Militer Dipertaruhkan
Kirim Rudal THAAD dan Pasukan Tanpa Persetujuan Kongres
Para ahli memperingatkan bahwa pengiriman pasukan AS ke medan perang tanpa persetujuan Kongres bisa memicu aturan hukum AS yang mengharuskan laporan kepada Komite Kongres. Jika pasukan AS terlibat dalam tindakan militer, seperti penggunaan rudal THAAD, maka batas waktu 60 hari dimulai untuk penarikan pasukan atau untuk mendapatkan persetujuan kongres.
Oona Hathaway, Direktur Center for Global Legal Challenges di Yale Law School, menjelaskan, “Ini jelas merupakan pengenalan pasukan AS ke dalam situasi pertempuran, dan oleh karena itu, harus mendapatkan otorisasi dari Kongres.”
Namun, pemerintahan AS tetap bungkam mengenai implikasi hukum ini. Brian Finucane menambahkan, “Pemerintahan Biden berusaha keras menghindari pengakuan bahwa hukum ini berlaku, karena hukum tersebut membatasi, memaksa mereka untuk berhenti atau meminta autorisasi perang kepada kongres. Dan mereka tidak ingin melakukan salah satu dari dua hal itu.”
Sementara itu, pemerintahan Biden juga mendapat sorotan atas keterlibatan militer di luar negeri tanpa persetujuan kongres, seperti yang terjadi dalam serangan terhadap pemberontak Houthi di Yaman, yang dimulai pada 7 Oktober lalu.
Para pakar hukum memperkirakan, Biden mungkin akan mengeklaim pengiriman pasukan ini adalah bagian dari “hak Israel untuk membela diri,” seperti yang digunakan sebagai alasan dalam konflik lainnya. Departemen Pertahanan AS belum memberikan komentar terkait hal ini.
Annelle Sheline, mantan pejabat Departemen Luar Negeri yang mengundurkan diri karena kebijakan AS terhadap Israel, mengatakan, "Sejauh ini, Kongres belum meminta pemerintahan ini menjelaskan bagaimana serangan Iran terhadap Israel bisa mengancam keamanan AS."
Sheline menambahkan, “Biden mungkin memperkirakan bahwa jika Iran menyerang, Kongres akan dengan cepat mendukung deklarasi perang.”
Sumber : Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.