Keterlibatan Lebih Dalam di Perang oleh Israel
Sementara ancaman AS tetap diragukan, pengiriman pasukan AS ke Israel menandakan dukungan AS yang lebih nyata, terlepas dari memburuknya situasi kemanusiaan. Sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) yang canggih kini menambah lapisan perlindungan Israel terhadap kemungkinan serangan rudal balistik dari Iran. Biden menyebut pengiriman ini dilakukan "untuk membela Israel."
Pengumuman rencana pengiriman persenjataan canggih itu dilakukan di tengah peringatan dari pejabat Iran bahwa AS membahayakan pasukan mereka dengan mengirim pasukan ke Israel.
Abbas Aragchi, Menteri Luar Negeri Iran, menegaskan, “Kami telah berusaha keras untuk mencegah perang total di kawasan kami, namun saya dengan tegas mengatakan bahwa kami tidak memiliki batas merah dalam membela rakyat dan kepentingan kami.”
Pakar hukum, seperti Brad Parker dari Center for Constitutional Rights, menilai tindakan AS ini sebagai bukti bahwa Biden lebih berfokus memastikan Israel tetap diuntungkan, meskipun situasi memburuk.
"Alih-alih mengendalikan situasi atau menahan para pejabat Israel, Presiden Biden malah berusaha meyakinkan para pemimpin Israel bahwa dia sepenuhnya mendukung mereka, meskipun mereka terus mengarah pada perang regional dan eskalasi kampanye genosida terhadap Palestina," kata Parker.
Parker juga menekankan pemerintahan Biden berusaha mengandalkan argumen hukum yang sempit untuk membenarkan tindakan sepihak yang melanggar hukum AS dan hukum internasional.
Baca Juga: AS Desak Israel Perbaiki Situasi Kemanusiaan di Gaza, Bantuan Militer Dipertaruhkan
Kirim Rudal THAAD dan Pasukan Tanpa Persetujuan Kongres
Para ahli memperingatkan bahwa pengiriman pasukan AS ke medan perang tanpa persetujuan Kongres bisa memicu aturan hukum AS yang mengharuskan laporan kepada Komite Kongres. Jika pasukan AS terlibat dalam tindakan militer, seperti penggunaan rudal THAAD, maka batas waktu 60 hari dimulai untuk penarikan pasukan atau untuk mendapatkan persetujuan kongres.
Oona Hathaway, Direktur Center for Global Legal Challenges di Yale Law School, menjelaskan, “Ini jelas merupakan pengenalan pasukan AS ke dalam situasi pertempuran, dan oleh karena itu, harus mendapatkan otorisasi dari Kongres.”
Namun, pemerintahan AS tetap bungkam mengenai implikasi hukum ini. Brian Finucane menambahkan, “Pemerintahan Biden berusaha keras menghindari pengakuan bahwa hukum ini berlaku, karena hukum tersebut membatasi, memaksa mereka untuk berhenti atau meminta autorisasi perang kepada kongres. Dan mereka tidak ingin melakukan salah satu dari dua hal itu.”
Sementara itu, pemerintahan Biden juga mendapat sorotan atas keterlibatan militer di luar negeri tanpa persetujuan kongres, seperti yang terjadi dalam serangan terhadap pemberontak Houthi di Yaman, yang dimulai pada 7 Oktober lalu.
Para pakar hukum memperkirakan, Biden mungkin akan mengeklaim pengiriman pasukan ini adalah bagian dari “hak Israel untuk membela diri,” seperti yang digunakan sebagai alasan dalam konflik lainnya. Departemen Pertahanan AS belum memberikan komentar terkait hal ini.
Annelle Sheline, mantan pejabat Departemen Luar Negeri yang mengundurkan diri karena kebijakan AS terhadap Israel, mengatakan, "Sejauh ini, Kongres belum meminta pemerintahan ini menjelaskan bagaimana serangan Iran terhadap Israel bisa mengancam keamanan AS."
Sheline menambahkan, “Biden mungkin memperkirakan bahwa jika Iran menyerang, Kongres akan dengan cepat mendukung deklarasi perang.”
Sumber : Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.