BEIRUT, KOMPAS TV - Ismail Haniyeh, pemimpin tertinggi Hamas yang hidup dalam pengasingan dan menjadi target pembunuhan Israel usai Hamas melakukan serangan mendadak pada 7 Oktober, tewas dibunuh serangan udara Israel di Teheran, Rabu (31/7/2024) pagi. Usianya 61 tahun.
Hamas mengatakan Haniyeh tewas di kediamannya di Teheran akibat serangan udara Israel, setelah ia menghadiri upacara pelantikan Presiden baru Iran. Israel belum memberikan komentar mengenai tuduhan tersebut.
Kematian Haniyeh menjadikannya sebagai pejabat Hamas terbaru yang tewas oleh Israel sejak serangan 7 Oktober yang dipimpin oleh Hamas. Kelompok perlawanan Palestina itu disebut menewaskan 1.200 orang Israel dan menyandera sekitar 250 lainnya.
Perang antara Israel dan Hamas yang dipicu oleh serangan tersebut kini menjadi yang paling mematikan dan terpanjang dalam konflik Arab-Israel. Hampir 40.000 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan Israel, menurut pejabat kesehatan di Gaza.
Sementara pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, diyakini sebagai otak di balik serangan 7 Oktober. Haniyeh yang dianggap lebih moderat dalam Hamas, memuji serangan itu sebagai pukulan telak terhadap citra ketangguhan Israel.
"Gelombang Al-Aqsa (nama operasi serangan Hamas ke Israel, -red) adalah gempa yang menghantam jantung entitas Zionis dan membawa perubahan besar di tingkat dunia," kata Haniyeh dalam sebuah pidato di Iran selama pemakaman mantan Presiden Iran, Ebrahim Raisi, pada Mei lalu.
"Kami akan terus melawan musuh ini sampai kami membebaskan tanah kami, seluruh tanah kami," tambah Haniyeh.
Beberapa jam setelah serangan 7 Oktober, Haniyeh muncul dalam sebuah video yang dirilis oleh Hamas, memimpin doa bersama pejabat-pejabat tinggi Hamas lainnya.
Baca Juga: Hamas Pastikan Ismail Haniyeh Dibunuh di Iran lewat Serangan Udara, Tuding Israel Pelakunya
Mereka berterima kasih kepada Tuhan atas keberhasilan serangan itu, yang berhasil menembus pertahanan Israel dan menjadi serangan paling mematikan dalam sejarah Israel.
Michael Milshtein, warga Israel pakar Hamas di Universitas Tel Aviv, mengatakan Haniyeh memiliki peran penting dalam kebijakan luar negeri dan diplomasi Hamas, namun kurang terlibat dalam urusan militer.
"Dia bertanggung jawab atas propaganda dan hubungan diplomatik, tetapi tidak terlalu berkuasa," kata Milshtein, mantan perwira intelijen militer Israel.
"Dari waktu ke waktu, Sinwar bahkan tertawa dan bercanda: 'Dia adalah pemimpin yang lebih moderat dan cerdas, tapi dia tidak mengerti apa-apa tentang peperangan.'"
Namun, Israel berjanji menargetkan semua pemimpin Hamas setelah serangan itu dan secara bertahap berupaya memenuhi janji tersebut.
Haniyeh juga menjadi perhatian Mahkamah Pidana Internasional ICC, yang jaksa penuntutnya mengajukan surat perintah penangkapan terhadapnya dan dua pemimpin Hamas lainnya, Sinwar dan Mohammed Deif. Mereka dituduh atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Permintaan serupa juga diajukan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Sejak 2019, Haniyeh tinggal dalam pengasingan di Qatar, dan ancaman terhadapnya tidak menghentikannya untuk bepergian. Dia mengunjungi Turki dan Iran selama perang berlangsung. Dari Doha, ia terlibat dalam negosiasi untuk mencapai gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Peran Haniyeh dalam kepemimpinan Hamas juga mengakibatkan kehilangan anggota keluarga terdekatnya. Pada bulan April, serangan udara Israel di Gaza menewaskan tiga anak lelaki Haniyeh, setelah itu dia menuduh Israel bertindak dalam "semangat balas dendam dan pembunuhan."
Baca Juga: Hamas Deklarasikan Akan Perang Terbuka untuk Membebaskan Yerusalem Usai Pembunuhan Ismail Haniyeh
Hamas menyatakan empat cucu pemimpin tersebut juga tewas, begitu pula saudara perempuannya dalam serangan terpisah bulan lalu.
Haniyeh, yang lahir di kamp pengungsi Shati, Gaza pada 29 Januari 1963, bergabung dengan Hamas sejak organisasi itu didirikan pada tahun 1987. Ia menjadi asisten Sheikh Ahmad Yassin, pendiri Hamas, dan naik pangkat hingga menjadi pemimpin politik tertinggi Hamas, menggantikan Khaled Mashaal tahun 2017.
Haniyeh dikenal sangat religius dan mempelajari sastra Arab di universitas. Ia sering menyampaikan pidato panjang dengan bahasa yang berbunga-bunga kepada para pendukungnya saat menjabat sebagai perdana menteri di Gaza.
Hani Masri, seorang analis veteran Palestina yang pernah beberapa kali bertemu dengan Haniyeh, menggambarkan almarhum sebagai sosok yang ramah dan pandai berbicara, sifat yang cocok untuk memimpin biro politik Hamas di Doha.
Seperti ribuan warga Palestina lainnya, Haniyeh pernah ditahan oleh otoritas Israel tahun 1989 karena menjadi anggota Hamas dan menghabiskan tiga tahun di penjara sebelum dideportasi ke Lebanon pada tahun 1992 bersama sekelompok pejabat dan pendiri Hamas.
Ia kemudian kembali ke Jalur Gaza setelah perjanjian damai sementara ditandatangani antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina pada tahun 1993.
Haniyeh menjabat sebagai perdana menteri dalam pemerintahan Palestina setelah Hamas memenangkan pemilu legislatif tahun 2006. Ia memimpin selama krisis terbesar dalam kepemimpinan Palestina, yang terus berlanjut hingga hari ini.
Hamas secara paksa mengambil alih Gaza tahun 2007, mengusir pasukan yang setia kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas dari faksi Fatah dan menjadikan Hamas penguasa di wilayah pantai kecil tersebut, dengan Haniyeh sebagai perdana menteri.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.