Namun, Israel berjanji menargetkan semua pemimpin Hamas setelah serangan itu dan secara bertahap berupaya memenuhi janji tersebut.
Haniyeh juga menjadi perhatian Mahkamah Pidana Internasional ICC, yang jaksa penuntutnya mengajukan surat perintah penangkapan terhadapnya dan dua pemimpin Hamas lainnya, Sinwar dan Mohammed Deif. Mereka dituduh atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Permintaan serupa juga diajukan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Sejak 2019, Haniyeh tinggal dalam pengasingan di Qatar, dan ancaman terhadapnya tidak menghentikannya untuk bepergian. Dia mengunjungi Turki dan Iran selama perang berlangsung. Dari Doha, ia terlibat dalam negosiasi untuk mencapai gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Peran Haniyeh dalam kepemimpinan Hamas juga mengakibatkan kehilangan anggota keluarga terdekatnya. Pada bulan April, serangan udara Israel di Gaza menewaskan tiga anak lelaki Haniyeh, setelah itu dia menuduh Israel bertindak dalam "semangat balas dendam dan pembunuhan."
Baca Juga: Hamas Deklarasikan Akan Perang Terbuka untuk Membebaskan Yerusalem Usai Pembunuhan Ismail Haniyeh
Hamas menyatakan empat cucu pemimpin tersebut juga tewas, begitu pula saudara perempuannya dalam serangan terpisah bulan lalu.
Haniyeh, yang lahir di kamp pengungsi Shati, Gaza pada 29 Januari 1963, bergabung dengan Hamas sejak organisasi itu didirikan pada tahun 1987. Ia menjadi asisten Sheikh Ahmad Yassin, pendiri Hamas, dan naik pangkat hingga menjadi pemimpin politik tertinggi Hamas, menggantikan Khaled Mashaal tahun 2017.
Haniyeh dikenal sangat religius dan mempelajari sastra Arab di universitas. Ia sering menyampaikan pidato panjang dengan bahasa yang berbunga-bunga kepada para pendukungnya saat menjabat sebagai perdana menteri di Gaza.
Hani Masri, seorang analis veteran Palestina yang pernah beberapa kali bertemu dengan Haniyeh, menggambarkan almarhum sebagai sosok yang ramah dan pandai berbicara, sifat yang cocok untuk memimpin biro politik Hamas di Doha.
Seperti ribuan warga Palestina lainnya, Haniyeh pernah ditahan oleh otoritas Israel tahun 1989 karena menjadi anggota Hamas dan menghabiskan tiga tahun di penjara sebelum dideportasi ke Lebanon pada tahun 1992 bersama sekelompok pejabat dan pendiri Hamas.
Ia kemudian kembali ke Jalur Gaza setelah perjanjian damai sementara ditandatangani antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina pada tahun 1993.
Haniyeh menjabat sebagai perdana menteri dalam pemerintahan Palestina setelah Hamas memenangkan pemilu legislatif tahun 2006. Ia memimpin selama krisis terbesar dalam kepemimpinan Palestina, yang terus berlanjut hingga hari ini.
Hamas secara paksa mengambil alih Gaza tahun 2007, mengusir pasukan yang setia kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas dari faksi Fatah dan menjadikan Hamas penguasa di wilayah pantai kecil tersebut, dengan Haniyeh sebagai perdana menteri.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.