MANILA, KOMPAS.TV - Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) menuntut gencatan senjata dan akses kemanusiaan tanpa hambatan di Jalur Gaza, di mana jutaan orang menghadapi kelaparan yang semakin parah.
“Kami sangat membutuhkan solusi politik yang memungkinkan adanya gencatan senjata agar bantuan dapat masuk,” kata Presiden IFRC Kate Forbes di Manila, Filipina, Rabu (29/5/2024).
Gaza, wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak 1967 dan diblokade sejak 2007, mengalami bencana kemanusiaan setelah lebih dari tujuh bulan dibombardir Israel sejak 7 Oktober 2023.
Dilansir Al Jazeera, sedikitnya 36.000 orang, termasuk 15.000 lebih anak-anak, telah tewas di Gaza di mana sekitar 2,3 juta jiwa terjebak akibat blokade Israel yang diberlakukan sejak 2007.
Serangan terbaru Israel ke Gaza dilancarkan setelah serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober ke Israel yang diklaim menewaskan 1.200 orang.
Baca Juga: Israel Ternyata Gunakan Bom Pintar Buatan AS untuk Ledakkan Kamp Pengungsi di Rafah
“Kami siap untuk membuat perbedaan. Kami harus mendapatkan akses, dan untuk mendapatkan akses harus ada gencatan senjata,” kata Forbes, yang pada Desember 2023 menjadi wanita kedua yang memegang jabatan tertinggi di jaringan kemanusiaan terbesar di dunia itu.
Presiden IFRC adalah posisi sukarela yang mengawasi jaringan yang menggabungkan 191 organisasi yang bekerja selama dan setelah bencana serta perang, seperti Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina yang memiliki tim ambulans di Gaza.
“Saya memohon kepada pemerintah di semua pihak untuk merundingkan gencatan senjata agar kami bisa memberikan bantuan,” kata Forbes.
“Tugas saya adalah memastikan bahwa ketika itu terjadi, kami dapat memberikan bantuan yang diperlukan. Jadi mereka perlu melakukan pekerjaan mereka agar saya bisa melakukan pekerjaan saya.”
Baca Juga: Erdogan: Zionisme Terbongkar, Tak Ada Negara yang Aman Kecuali Israel Patuhi Hukum Internasional
Forbes mengatakan dia telah melihat situasi yang "mengerikan" di Rafah selama kunjungan pada Februari lalu, beberapa bulan sebelum Israel melancarkan serangan militer di kota di bagian selatan Gaza itu.
Rafah menampung lebih dari satu juta warga Palestina yang melarikan diri dari serangan Israel di wilayah-wilayah Gaza lainnya.
“Tidak ada cukup tempat tinggal. Tidak ada air, tidak ada cukup toilet sanitasi,” kata Forbes.
“Kami memiliki rumah sakit tanpa peralatan, dan sayangnya apa yang saya khawatirkan telah terjadi, [bahwa] tidak akan ada cukup makanan.”
Seorang utusan kemanusiaan Amerika Serikat mengatakan pada April lalu bahwa “ada risiko kelaparan yang segera terjadi.”
Baca Juga: Pasukan Tank Israel Dilaporkan Mulai Masuk ke Rafah dalam Jumlah Makin Besar
Direktur Program Pangan Dunia (WFP) Cindy McCain menyatakan pada 3 Mei, sudah ada “kelaparan besar-besaran” di bagian utara Jalur Gaza. Pernyataan itu dibantah badan Israel yang bertanggung jawab atas pengiriman bantuan.
Beberapa badan internasional, termasuk jaksa dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), menuduh Israel sengaja menciptakan kondisi kelaparan di Gaza sebagai senjata perang terhadap penduduk sipil.
Prospek dimulainya kembali pembicaraan gencatan senjata di Gaza meningkat akhir pekan lalu, meskipun Israel terus menyerang Gaza dengan dalih menargetkan kelompok perlawanan Palestina, Hamas.
Padahal pengadilan tertinggi PBB, Mahkamah Internasional (ICJ), pada 24 Mei lalu, memerintahkan Israel untuk menghentikan serangannya ke Rafah.
Hamas membantah laporan bahwa pembicaraan akan dimulai kembali awal pekan ini. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas kebuntuan tersebut.
Israel mengatakan tidak bisa menerima permintaan Hamas untuk mengakhiri perang, sementara pihak Palestina menginginkan pembebasan tahanan Palestina.
Israel menahan ribuan warga Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan, bahkan sebelum serangan 7 Oktober terjadi. Banyak di antara mereka yang ditahan tanpa dakwaan.
Sumber : KOMPAS TV, Straits Times, Times of Israel
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.