RAFAH, KOMPAS.TV - Amerika Serikat menolak desakan mitra-mitra Arab di Amman, Yordania, Sabtu (4/11/2023).
Desakan itu tentang perlunya gencatan senjata segera di Jalur Gaza saat serangan militer Israel membunuh hampir 10.000 orang, sebagian besar anak-anak, perempuan, dan lansia.
Menlu Yordania, Ayman Safadi mengatakan negara Arab mendesak gencatan senjata segera.
"Seluruh wilayah ini tenggelam dalam lautan kebencian yang akan mendefinisikan generasi yang akan datang," seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, Minggu (5/11/2023).
Namun, Menlu AS Antony Blinken mengatakan, "Saat ini pandangan kami adalah gencatan senjata hanya akan membuat Hamas tetap berkuasa, mampu konsolidasi, dan mengulangi apa yang dilakukannya pada 7 Oktober."
Dia mengatakan, AS meyakini jeda kemanusiaan dapat menjadi kunci dalam melindungi warga sipil, membawa bantuan masuk, dan mengeluarkan warga asing.
"Sambil masih memungkinkan Israel mencapai tujuannya, yaitu mengalahkan Hamas," katanya.
Pejabat senior Hamas, Osama Hamdan mengatakan kepada para wartawan di Beirut, Blinken harus menghentikan agresi dan tidak boleh mengusulkan ide yang tidak bisa diimplementasikan.
Pejabat Mesir mengatakan, mereka dan Qatar mengusulkan jeda kemanusiaan selama enam hingga 12 jam setiap hari untuk memungkinkan bantuan masuk dan korban dievakuasi.
Mereka juga meminta Israel melepaskan sejumlah tahanan perempuan dan lansia sebagai pertukaran untuk sandera yang dipegang oleh Hamas, usulan yang tampaknya tidak akan diterima oleh Israel.
Mereka berbicara dengan syarat anonim karena tidak diizinkan memberi informasi kepada pers tentang perbincangan tersebut.
Baca Juga: Turki Bergerak Seret Israel ke Pengadilan Pidana Internasional atas Tuduhan Kejahatan Perang
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken bertemu dengan menteri luar negeri Arab di Yordania setelah berbicara dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang bersikeras tidak ada gencatan senjata sampai semua sandera yang dipegang oleh Hamas dibebaskan.
Israel berkali-kali menuntut agar 1,1 juta penduduk di utara Gaza melarikan diri ke selatan karena eskalasi serangan di utara.
Namun, beberapa dari mereka yang bergerak ke selatan tewas dibunuh Israel dalam beberapa hari terakhir.
Karena Israel terus melakukan serangan udara di selatan, dengan alasan menyerang target-target Hamas.
Hari Sabtu, Israel menawarkan jendela tiga jam bagi warga yang terjebak untuk melarikan diri ke selatan.
Namun seorang jurnalis AP di jalan melihat tidak ada yang datang dari utara.
Kepala kantor media pemerintah di Gaza, Salama Maarouf mengatakan, tidak ada yang pergi ke selatan karena militer Israel merusak jalan.
Tetapi Israel menegaskan, Hamas "menggunakan" jendela tersebut untuk bergerak ke selatan dan menyerang pasukannya.
Tidak ada komentar langsung dari Hamas terkait klaim tersebut, yang tidak dapat diverifikasi.
Beberapa warga Palestina mengatakan, mereka tidak pergi ke selatan karena takut akan serangan Israel.
"Kami tidak percaya kepada mereka," kata Mohamed Abed, yang berlindung bersama istri dan anak-anaknya di halaman rumah sakit Shifa.
Wilayah perumahan yang luas di utara Gaza hancur akibat serangan udara Israel.
Israel membunuh warga sipil yang tinggal disana.
Sebagian besar penduduk yang tersisa di utara Gaza diperkirakan sekitar 300.000 orang.
Mereka mencari perlindungan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh PBB dan di rumah sakit.
Namun, serangan Israel yang mematikan juga telah berkali-kali mengenai dan merusak tempat-tempat perlindungan tersebut.
Badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA mengatakan, kehilangan kontak dengan banyak warga di utara.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.