KAHIRE, KOMPAS.TV - Serangan udara di sebuah kota Sudan hari Sabtu (8/7/2023) menewaskan setidaknya 22 orang, kata otoritas kesehatan Sudan dalam salah satu serangan udara paling mematikan selama tiga bulan pertempuran antara jenderal-jenderal yang saling berebut kekuasaan di negara itu.
Seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, Minggu (9/7/2023), serangan tersebut terjadi di lingkungan Dar es Salaam di Omdurman, kota tetangga ibu kota Khartoum, menurut pernyataan singkat dari Kementerian Kesehatan. Serangan tersebut juga melukai sejumlah orang yang tidak disebutkan jumlahnya.
Kementerian tersebut memposting rekaman video yang menunjukkan mayat-mayat di tanah yang ditutupi kain dan orang-orang yang mencoba menarik mayat dari reruntuhan. Orang-orang lain berusaha membantu yang terluka. Tangisan orang-orang terdengar.
Serangan ini adalah salah satu serangan paling mematikan dalam pertempuran di daerah perkotaan ibu kota dan di tempat lain di Sudan. Konflik ini melibatkan militer melawan kelompok paramiliter yang kuat yang dikenal sebagai Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF). Bulan lalu, serangan udara menewaskan setidaknya 17 orang termasuk 5 anak-anak di Khartoum.
RSF menyalahkan militer atas serangan Sabtu dan serangan-serangan lainnya di daerah permukiman di Omdurman, di mana pertempuran terus berkecamuk antara faksi-faksi yang bertikai, menurut penduduk setempat. Militer dilaporkan telah berusaha memutus jalur pasokan penting bagi pasukan paramiliter di sana.
Militer Sudan belum memberi pernyataan atas peristiwa tersebut pada hari Sabtu (8/7/2023).
Baca Juga: Militer Minta Pemuda Gabung Tentara Lawan Paramiliter, Konflik Sudan Masih Panjang?
Dua warga Omdurman mengatakan sulit untuk menentukan pihak mana yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Mereka mengatakan pesawat militer secara berulang kali menargetkan pasukan RSF di daerah tersebut dan pasukan paramiliter menggunakan drone dan senjata antipesawat terhadap militer.
Pada saat serangan Sabtu pagi, militer sedang menghantam RSF, yang menggunakan rumah-rumah penduduk sebagai perisai, dan RSF melepaskan tembakan rudal antipesawat terhadap pesawat tempur yang menyerang, kata Abdel-Rahman, salah seorang penduduk yang hanya menggunakan nama depannya karena khawatir akan keselamatannya.
"Wilayah ini seperti neraka ... pertempuran terjadi sepanjang waktu dan orang-orang tidak dapat pergi," katanya.
Konflik ini pecah pada pertengahan April, setelah beberapa bulan meningkatnya ketegangan antara militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat yang dipimpin oleh Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo. Pertempuran ini terjadi 18 bulan setelah kedua jenderal tersebut melakukan kudeta militer pada bulan Oktober 2021 yang menggulingkan pemerintahan transisi sipil yang didukung oleh negara-negara Barat.
Menteri Kesehatan Haitham Mohammed Ibrahim mengatakan dalam komentar yang disiarkan televisi bulan lalu bahwa bentrokan tersebut telah menewaskan lebih dari 3.000 orang dan melukai lebih dari 6.000 orang lainnya.
Lebih dari 2,9 juta orang telah mengungsi dari rumah mereka ke daerah yang lebih aman di dalam Sudan atau melintasi perbatasan ke negara-negara tetangga, menurut data PBB.
Baca Juga: Terjebak Perang, Puluhan Bayi dan Balita Yatim Piatu Tewas Kelaparan di Panti Asuhan Khartoum Sudan
"Tempat yang sangat mengerikan," kata Martin Griffiths, Kepala Kemanusiaan PBB, tentang Sudan pada Jumat. Dia mengutuk "kejahatan yang mengerikan" yang terjadi di seluruh negara dan pengungsian ratusan ribu orang.
Konflik ini telah menjatuhkan negara Afrika ini ke dalam kekacauan dan mengubah Khartoum dan daerah perkotaan lainnya menjadi medan pertempuran. Anggota pasukan paramiliter menduduki rumah-rumah dan properti sipil sejak awal konflik, menurut penduduk dan aktivis. Juga ada laporan tentang kerusakan dan penjarahan massal di Khartoum dan Omdurman.
Kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan terhadap perempuan dan anak perempuan, telah dilaporkan di Khartoum dan wilayah Darfur di barat, yang menjadi tempat pertempuran terburuk dalam konflik ini. Hampir semua kasus serangan seksual yang dilaporkan dituduhkan kepada RSF, yang tidak memberikan tanggapan atas berbagai permintaan komentar.
Pada hari Rabu, pejabat PBB, termasuk Volker Türk, komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia, meminta "penyelidikan segera, menyeluruh, tidak memihak, dan independen" terhadap laporan yang semakin banyak tentang kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan.
Unit Sudan untuk Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan, sebuah organisasi pemerintah yang melacak serangan seksual terhadap perempuan, mengatakan telah mendokumentasikan 88 kasus pemerkosaan yang terkait dengan konflik yang sedang berlangsung, termasuk 42 di Khartoum dan 46 di Darfur.
Namun, unit tersebut mengatakan angka tersebut kemungkinan hanya mewakili 2% dari jumlah kasus yang sebenarnya, yang berarti ada kemungkinan 4.400 kasus kekerasan seksual sejak pertempuran dimulai pada 15 April, menurut lembaga amal Save the Children.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.