ISTANBUL, KOMPAS.TV - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memenangkan pemilu hari Minggu, (29/5/2023) setelah pilpres putaran pertama yang sengit dua minggu sebelumnya.
Dengan memperoleh masa jabatan lima tahun ke depan, Erdogan, menurut Associated Press hari Senin, (29/5/2023), menghadapi sejumlah tantangan di dalam negeri di negara yang menurut media Barat sangat terpecah belah, mulai dari perekonomian yang terpuruk hingga tekanan untuk repatriasi pengungsi Suriah serta kebutuhan untuk membangun kembali setelah gempa bumi yang menghancurkan.
Berikut ini adalah gambaran tantangan yang dihadapi ke depan, seperti yang dilaporkan Associated Press pada hari Senin (29/5/2023).
Baca Juga: Ucapan Selamat Jokowi untuk Erdogan yang Kembali Terpilih Jadi Presiden Turki
Ekonomi: Sejauh Mana Kebijakan Tidak Konvensional Erdogan Bisa Dilanjutkan?
Inflasi di Turki mencapai angka yang mencengangkan, yaitu 85% pada bulan Oktober sebelum mengalami penurunan menjadi 44% bulan lalu, meskipun para ahli independen berpendapat angka terbaru itu masih menyembunyikan seberapa parah krisis biaya hidup di Turki, di mana warga menghadapi kesulitan membayar biaya sewa yang melonjak tinggi dan membeli barang-barang dasar.
Para kritikus menyalahkan krisis ini pada kebijakan Erdogan yang menahan suku bunga rendah untuk mendorong pertumbuhan. Para ekonom umumnya menyarankan kenaikan suku bunga untuk melawan inflasi.
Meskipun mengalami kemerosotan ekonomi, Erdogan berhasil memenangkan pemilihan dengan cara memperingan efek inflasi melalui pengeluaran publik yang para ahli katakan tidak bisa dipertahankan, termasuk kenaikan upah minimum dan pensiun.
"Ekonomi Turki berpesta selama waktu yang lama dan jauh melampaui kemampuannya. Dan saya pikir dalam periode setelah pemilihan ini, itulah saat kita akan membayar akibat pesta yang kita konsumsi," kata Selva Demiralp, profesor ekonomi di Universitas Koc Istanbul.
Ke depan, pemerintah perlu memutuskan apakah akan tetap mempertahankan suku bunga rendah, seperti yang dijanjikan oleh Erdogan, melakukan kenaikan bertahap, atau menggabungkan kenaikan kecil dengan langkah-langkah lain.
Semua pilihan tersebut akan membawa "perlambatan yang tak terhindarkan" dalam ekonomi Turki dan tingkat pengangguran yang lebih tinggi, menurut Demiralp, namun pertanyaannya adalah apakah itu akan menjadi perlambatan yang terkendali atau berhenti tiba-tiba.
Baca Juga: Penghitungan Tidak Resmi Pemilu Turki: Erdogan Menang, Raih 52,1 Persen Suara
Gempa Bumi: Erdogan Janji Membangun Kembali, Tetapi Duitnya dari Mana?
Kemenangan telak Erdogan di provinsi-provinsi yang paling terkena dampak gempa bumi pada 6 Februari yang menewaskan sekitar 50.000 orang itu datang meskipun media Barat melaporkan banyaknya kritik bahwa respons pemerintah terlambat dan tidak efektif.
Para pemilih di sembilan dari 11 provinsi yang terkena dampak gempa mendukung Erdogan, termasuk di Hatay yang terkena dampak parah. Dalam pidato kemenangannya, Erdogan mengatakan upaya pemulihan akan menjadi prioritas utama pemerintahannya.
Bank Dunia memperkirakan gempa bumi menyebabkan "kerusakan langsung" sebesar 34,2 miliar dolar AS, jumlah yang setara 4% dari Produk Domestik Bruto Turki tahun 2021. Biaya pemulihan dan rekonstruksi dapat mencapai dua kali lipat dari jumlah tersebut, demikian disebutkan oleh Bank Dunia.
Dua dekade pemerintahan Erdogan ditandai oleh ledakan pembangunan yang besar. Meskipun ada kritik bahwa penegakan peraturan bangunan yang longgar turut menyumbang pada tingkat kematian dalam gempa bumi tersebut, banyak pendukungnya percaya dia mampu membangun kembali.
Namun, para ahli geologi dan insinyur telah memperingatkan kampanye pembangunan yang cepat juga dapat menimbulkan risiko.
Baca Juga: Erdogan Menang Pilpres Turki, Rakyat Aceh Ikut Senang, Ini Alasannya
Perkara Suriah: Erdogan Dalam Tekanan Untuk Memulangkan Pengungsi Suriah
Erdogan sangat menyadari opini publik berubah terhadap 3,4 juta pengungsi Suriah yang melarikan diri dari kekerasan di tanah air mereka menuju Turki, terutama ketika negara ini sedang menghadapi kemerosotan ekonomi.
Dalam pidato kemenangannya, Erdogan mengatakan sekitar 600.000 pengungsi sudah kembali secara sukarela ke Suriah, di mana pemerintahnya sedang menciptakan "zona aman" di daerah utara yang dikuasainya.
Sejuta pengungsi lainnya akan mengikuti melalui program pemukiman bersama dengan Qatar, kata Erdogan, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Namun, Emma Sinclair-Webb dari Human Rights Watch berpandangan miring, mengatakan Suriah masih belum aman bagi banyak pengungsi, sementara wacana yang memecah belah di Turki juga menciptakan situasi berbahaya bagi mereka.
Baca Juga: Erdogan Terpilih Lagi Jadi Presiden Turki, Berjanji Kurangi Inflasi dan Sebut Itu Tak Sulit
Hak dan Kesejahteraan: Erdogan Memberi Sinyal, Kebijakan Ketat akan Berlanjut
Kepresidenan Erdogan menurut Barat ditandai oleh penindasan terhadap kebebasan berekspresi dan permusuhan yang meningkat terhadap kelompok minoritas: media utama bersikap pro-pemerintah, sensor internet merajalela, undang-undang media sosial baru dapat membatasi ekspresi online, dan dia sering kali menargetkan anggota komunitas LGBT dan etnis Kurdi.
Setelah percobaan kudeta yang gagal pada tahun 2016 yang oleh Turki disalahkan pada seorang ulama Muslim yang berbasis di Amerika Serikat, pemerintah Turki menggunakan undang-undang teror yang luas untuk memenjarakan mereka yang punya hubungan dengan ulama tersebut, seorang politikus pro-Kurdi, dan anggota masyarakat sipil.
Sinclair-Webb, seorang pejuang hak asasi manusia, mengatakan pidato kemenangan Erdogan adalah "petunjuk akan apa yang akan datang" ketika dia menargetkan politikus pro-Kurdi yang dipenjara Selahattin Demirtas, sementara massa menyanyikan yel-yel untuk hukuman mati.
Erdogan juga menggunakan pidato kemenangan lainnya untuk memanaskan sentimen anti-LGBTQ.
Erdogan pernah menyebut perlakuan buruk terhadap orang-orang gay sebagai "tidak manusiawi" tetapi sekarang menyebut anggota komunitas LGBT sebagai ngelunjak.
Baca Juga: Erdogan Jadi Presiden Turki Lagi, Pengamat: Ia Ingin Mengembalikan Hegemoni Kekaisaran Turki
Sejak tahun 2015, pemerintahnya melarang parade kaum LGBTQ, dan para pejabat semakin menggunakan bahasa diskriminatif sambil berusaha memperkuat basis konservatif mereka.
Pemerintahan Erdogan juga menarik Turki dari perjanjian Eropa yang melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga, tunduk pada kelompok konservatif yang mengklaim perjanjian tersebut mempromosikan homoseksualitas.
Retorika anti-gay semakin meningkat selama kampanye Erdogan.
"Menyebutkannya lagi pada kesempatan pertama dalam pidato di balkon kemenangan adalah pengingat yang menakutkan tentang betapa dia benar-benar membahayakan orang-orang LGBT," kata Sinclair-Webb, seorang pejuang hak asasi manusia Barat.
Asosiasi LGBT tertua di Turki, Kaos GL, mengatakan kemenangan Erdogan tidak akan membuat mereka diam.
"Meskipun mereka berjanji untuk menutup kami, kami keluar sekali dan kami tidak akan mundur," demikian dinyatakan oleh organisasi dan lainnya dalam sebuah pernyataan.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.