JENEWA, KOMPAS.TV - Pihak bertikai di Sudan menduduki laboratorium nasional berisi sampel virus dan penyakit mematikan termasuk polio dan campak, menciptakan situasi "sangat, sangat berbahaya". Peringatan itu dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pihak yang bertikai dilaporkan telah mengusir semua teknisi dari laboratorium. Kini laboratorium sepenuhnya berada di bawah kendali salah satu pihak yang bertikai sebagai pangkalan militer.
Hal itu diungkap Dr Nima Saeed Abid, perwakilan WHO di Sudan, seperti yang dilaporkan oleh Straits Times, Selasa (25/4/2023).
Namun Dr Abid tidak menyebutkan pihak mana yang kini menguasai laboratorium tersebut.
Dr Abid mengatakan, telah menerima telepon dari kepala laboratorium nasional di Khartoum pada hari Senin, sehari sebelum gencatan senjata selama 72 jam yang diperantarai oleh AS resmi berlaku setelah 10 hari pertempuran di perkotaan.
"Ada risiko biologi besar yang terkait dengan pendudukan laboratorium kesehatan masyarakat pusat," kata Dr Abid.
Ia menunjukkan bahwa laboratorium tersebut menyimpan isolat atau sampel penyakit mematikan, termasuk campak, polio, dan kolera.
WHO juga mengatakan telah terjadi 14 serangan terhadap fasilitas perawatan kesehatan atau tenaga medis selama pertempuran, mengakibatkan delapan tenaga medis tewas dan dua terluka.
Baca Juga: Sudan Kembali Gencatan Senjata Selama 72 Jam, yang Ketiga Usai Pertempuran Pecah
Mereka juga memperingatkan, persediaan kantong darah yang sudah tipis berisiko rusak akibat kurangnya pasokan listrik.
"Selain bahaya bahan kimia, bahaya risiko biologi juga sangat tinggi akibat kurangnya generator yang berfungsi," kata Dr Abid.
Kementerian Kesehatan Sudan menyatakan jumlah kematian sejauh ini sebanyak 459 orang, dengan 4.072 orang terluka, kata WHO, namun belum dapat memverifikasi angka tersebut.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan, ribuan orang melarikan diri dari kekerasan dan mereka bersiap menghadapi kemungkinan 270.000 orang melarikan diri dari Sudan ke Chad dan Sudan Selatan.
UNHCR mengatakan mereka belum punya perkiraan untuk jumlah yang menuju negara-negara sekitarnya.
Laura Lo Castro, perwakilan UNHCR di Chad, mengatakan sekitar 20.000 pengungsi telah tiba di sana sejak pertempuran dimulai 10 hari yang lalu.
Dalam konferensi pers melalui video-link di Jenewa, ia mengatakan UNHCR memperkirakan hingga 100.000 orang akan mengungsi dalam "skenario terburuk".
Rekan kerjanya di Sudan Selatan, Marie-Helene Verney, mengatakan sekitar 4.000 dari lebih dari 800.000 pengungsi Sudan Selatan yang tinggal di Sudan telah kembali ke rumah sejak pertempuran dimulai.
Baca Juga: Kerusuhan di Sudan, Negara-negara Ini Evakuasi Warganya
Ke depan, ia mengatakan kepada wartawan bahwa skenario paling mungkin adalah 125.000 pengungsi Sudan Selatan kembali ke Sudan Selatan.
Hingga 45.000 warga Sudan juga mungkin melarikan diri sebagai pengungsi ke Sudan Selatan, katanya.
Juru bicara lembaga kemanusiaan PBB Jens Laerke mengatakan, pertempuran menyebabkan kekurangan makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar yang akut, serta komunikasi dan listrik yang terbatas.
"Masyarakat Sudan, yang sudah sangat terdampak oleh kebutuhan kemanusiaan, sedang menatap jurang."
Sekitar 15,8 juta orang di Sudan - sepertiga dari populasi - sudah membutuhkan bantuan kemanusiaan sebelum kekerasan terbaru pecah.
Namun, operasi kemanusiaan juga sangat terpengaruh oleh pertempuran, peringat Laerke, yang mencatat antara lain laporan tentang penjarahan persediaan dan gudang bantuan kemanusiaan.
Lima pekerja kemanusiaan telah tewas sejak pertempuran dimulai.
Sumber : Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.