DUBAI, KOMPAS.TV - Pertempuran di Sudan antara pasukan setia kepada dua jenderal teratas mengancam negara tersebut runtuh dan dapat punya konsekuensi yang jauh di luar perbatasannya.
Kedua belah pihak punya puluhan ribu personil tempur, pendukung asing, kekayaan mineral, dan sumber daya lain yang dapat melindungi mereka dari sanksi.
Ini adalah resep untuk konflik yang berkepanjangan yang telah menghancurkan negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika, dari Lebanon dan Suriah hingga Libya dan Ethiopia.
Pertempuran yang dimulai ketika Sudan mencoba beralih ke demokrasi telah menewaskan ratusan orang dan memaksa jutaan orang terjebak di area perkotaan, berlindung dari tembakan, ledakan, dan perampok.
Berikut adalah pandangan tentang apa yang terjadi dan dampaknya di luar Sudan, seperti laporan Associated Press, Jumat (21/4/2023).
Baca Juga: Analis Sebut Bentrok Sudan Berakar dari Konflik Personal Dua Jenderal
Pihak-pihak yang saling berperang di Sudan
Jenderal Abdel Fattah Burhan, komandan resmi angkatan bersenjata Sudan, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, pemimpin kelompok paramiliter yang dikenal sebagai Pasukan Pendukung Cepat yang tumbuh dari milisi kejam Janjaweed yang terkenal di Darfur, keduanya berusaha merebut kendali atas Sudan.
Ini terjadi dua tahun setelah mereka bersama-sama melakukan kudeta militer dan menggagalkan transisi ke demokrasi yang dimulai setelah para pengunjuk rasa tahun 2019 membantu menggulingkan pemimpin otokratis gaek Omar al-Bashir.
Dalam beberapa bulan terakhir, negosiasi sedang berlangsung untuk kembali ke transisi demokrasi.
Pemenang dari pertempuran terbaru kemungkinan akan menjadi presiden Sudan berikutnya, dengan yang kalah menghadapi pengasingan, penangkapan, atau bahkan kematian.
Perang saudara yang berkepanjangan atau pemecahan negara menjadi petak-petak penguasa kecil yang saling bersaing juga mungkin saja bisa terjadi.
Alex De Waal, seorang ahli Sudan di Universitas Tufts, menulis dalam memo kepada rekan-rekannya minggu ini bahwa konflik ini harus dilihat sebagai "putaran pertama perang saudara".
"Kecuali itu dihentikan dengan cepat, konflik akan menjadi permainan multi-level dengan pelaku regional dan beberapa pelaku internasional mengejar kepentingan mereka, menggunakan uang, pasokan senjata, dan mungkin pasukan atau proksi mereka sendiri," tulisnya.
Baca Juga: Penjelasan Pertempuran Sudan: Dua Jenderal Berebut Kuasa, Satu Negara Membara
Arti Konflik di Sudan Bagi Negara Tetangga
Sudan, sebuah negara Arab dan Afrika, melintasi Sungai Nil dan membagi airnya dengan Mesir dan Etiopia, yang merupakan pemain kawasan yang kuat.
Mesir mengandalkan Sungai Nil untuk mendukung populasi lebih dari 100 juta penduduknya, dan Etiopia sedang mengerjakan bendungan hulu yang sangat besar yang telah membuat Kairo dan Khartoum merasa cemas.
Mesir punya hubungan yang erat dengan militer Sudan, yang mereka pandang sebagai sekutu melawan Etiopia. Kairo telah menghubungi kedua belah pihak di Sudan untuk menekan agar gencatan senjata diumumkan tetapi kemungkinan besar Mesir akan tidak akan tinggal diam jika militer dihadapkan pada kekalahan.
Sudan berbatasan dengan lima negara tambahan: Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Eritrea, dan Sudan Selatan, yang memisahkan diri pada tahun 2011 dan membawa 75% sumber daya minyak Khartoum.
Hampir semuanya terjebak dalam konflik internal mereka sendiri, dengan berbagai kelompok pemberontak yang beroperasi di sepanjang perbatasan yang poros.
"Apa yang terjadi di Sudan tidak akan tetap di Sudan," kata Alan Boswell dari International Crisis Group.
"Chad dan Sudan Selatan tampaknya paling berisiko mengalami dampak langsung. Tetapi semakin lama (pertempuran) berlangsung, semakin mungkin kita akan melihat campur tangan eksternal yang besar."
Baca Juga: Liga Arab Gelar Rapat Darurat Bahas Situasi Sudan
Kepentingan Eksternal yang Ada di Sudan
Negara-negara Teluk Arab melirik kawasan tanduk Afrika dalam beberapa tahun terakhir, berupaya proyeksi kekuatan di seluruh kawasan.
Uni Emirat Arab, kekuatan militer yang makin besar dan yang telah memperluas kehadirannya di seluruh Timur Tengah dan Afrika Timur, punya hubungan erat dengan Pasukan Dukungan Cepat, yang mengirimkan ribuan personil untuk membantu Uni Emirat Arab dan Arab Saudi dalam perang mereka melawan pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman.
Sementara itu, Rusia lama berencana membangun pangkalan angkatan laut yang mampu menampung hingga 300 pasukan dan empat kapal di Port Sudan, di jalur perdagangan Laut Merah yang penting untuk pengiriman energi ke Eropa.
Kelompok Wagner, sebuah kelompok bayaran Rusia dengan hubungan erat dengan Kremlin, membuat terobosan di seluruh Afrika dalam beberapa tahun terakhir dan beroperasi di Sudan sejak 2017.
Amerika Serikat dan Uni Eropa memberlakukan sanksi pada dua perusahaan tambang emas yang terkait dengan Wagner di Sudan yang dituduh melakukan penyelundupan.
Baca Juga: Gencatan Senjata Hanya Bertahan Beberapa Menit, Pertempuran Kembali Meletus di Sudan, 270 Tewas
Peran yang Dimainkan Negara-negara Barat di Sudan
Sudan menjadi pesakitan barat ketika menjadi tuan rumah bagi Osama bin Laden dan kelompok militan lainnya tahun 1990-an, ketika al-Bashir memberdayakan pemerintah Islam garis keras.
Isolasi Sudan semakin dalam selama konflik di wilayah Darfur barat pada tahun 2000-an, ketika pasukan Sudan dan Janjaweed dituduh melakukan kekejaman dalam menekan pemberontakan lokal. Pengadilan Pidana Internasional akhirnya menuduh al-Bashir melakukan genosida.
AS menghapus Sudan dari daftar sponsor negara-negara teroris setelah pemerintah di Khartoum setuju untuk menjalin hubungan dengan Israel pada tahun 2020.
Namun, miliaran dolar pinjaman dan bantuan ditangguhkan setelah kudeta militer pada tahun 2021. Bersama dengan perang di Ukraina dan inflasi global, hal itu membuat ekonomi Sudan mengalami kemerosotan.
Baca Juga: Sekilas tentang Jenderal Abdul Fattah al-Burhan, yang Ambil Alih Pemerintahan dan Kini Pimpin Sudan
Apakah Kekuatan Eksternal Bisa Melakukan Sesuatu atau Menengahi Pertikaian di Sudan?
Krisis ekonomi Sudan memberikan peluang bagi negara-negara Barat untuk menggunakan sanksi ekonomi guna menekan kedua belah pihak agar bersikap tenang.
Namun di Sudan, seperti halnya di negara-negara Afrika yang kaya sumber daya alam lainnya, kelompok bersenjata memperkaya diri melalui perdagangan gelap mineral langka dan sumber daya alam lainnya.
Dagalo, seorang mantan penggembala unta dari Darfur, punya banyak harta ternak dan operasi penambangan emas. Dia juga diyakini dibayar dengan baik oleh negara-negara Teluk atas jasa RSF dalam memerangi pemberontak yang terkait dengan Iran di Yaman.
Militer mengendalikan sebagian besar ekonomi, dan juga mengandalkan para pengusaha di Khartoum dan sepanjang sungai Nil yang menjadi kaya selama pemerintahan panjang al-Bashir dan menganggap RSF sebagai prajurit kasar dari pedalaman.
"Kendali atas dana politik akan menjadi sama pentingnya dengan medan perang," kata De Waal. "(Militer) akan ingin mengendalikan tambang emas dan jalur penyelundupan. RSF akan ingin mengganggu arteri transportasi utama termasuk jalan dari Port Sudan ke Khartoum."
Sementara itu, jumlah mediator yang berusaha - termasuk AS, PBB, Uni Eropa, Mesir, negara-negara Teluk, Uni Afrika, dan blok Afrika timur delapan negara yang dikenal sebagai IGAD - dapat membuat upaya perdamaian menjadi lebih rumit daripada perang itu sendiri.
"Para mediator eksternal berisiko menjadi kemacetan lalu lintas tanpa polisi," kata De Waal.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.