Baca Juga: Liga Arab Gelar Rapat Darurat Bahas Situasi Sudan
Kepentingan Eksternal yang Ada di Sudan
Negara-negara Teluk Arab melirik kawasan tanduk Afrika dalam beberapa tahun terakhir, berupaya proyeksi kekuatan di seluruh kawasan.
Uni Emirat Arab, kekuatan militer yang makin besar dan yang telah memperluas kehadirannya di seluruh Timur Tengah dan Afrika Timur, punya hubungan erat dengan Pasukan Dukungan Cepat, yang mengirimkan ribuan personil untuk membantu Uni Emirat Arab dan Arab Saudi dalam perang mereka melawan pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman.
Sementara itu, Rusia lama berencana membangun pangkalan angkatan laut yang mampu menampung hingga 300 pasukan dan empat kapal di Port Sudan, di jalur perdagangan Laut Merah yang penting untuk pengiriman energi ke Eropa.
Kelompok Wagner, sebuah kelompok bayaran Rusia dengan hubungan erat dengan Kremlin, membuat terobosan di seluruh Afrika dalam beberapa tahun terakhir dan beroperasi di Sudan sejak 2017.
Amerika Serikat dan Uni Eropa memberlakukan sanksi pada dua perusahaan tambang emas yang terkait dengan Wagner di Sudan yang dituduh melakukan penyelundupan.
Baca Juga: Gencatan Senjata Hanya Bertahan Beberapa Menit, Pertempuran Kembali Meletus di Sudan, 270 Tewas
Peran yang Dimainkan Negara-negara Barat di Sudan
Sudan menjadi pesakitan barat ketika menjadi tuan rumah bagi Osama bin Laden dan kelompok militan lainnya tahun 1990-an, ketika al-Bashir memberdayakan pemerintah Islam garis keras.
Isolasi Sudan semakin dalam selama konflik di wilayah Darfur barat pada tahun 2000-an, ketika pasukan Sudan dan Janjaweed dituduh melakukan kekejaman dalam menekan pemberontakan lokal. Pengadilan Pidana Internasional akhirnya menuduh al-Bashir melakukan genosida.
AS menghapus Sudan dari daftar sponsor negara-negara teroris setelah pemerintah di Khartoum setuju untuk menjalin hubungan dengan Israel pada tahun 2020.
Namun, miliaran dolar pinjaman dan bantuan ditangguhkan setelah kudeta militer pada tahun 2021. Bersama dengan perang di Ukraina dan inflasi global, hal itu membuat ekonomi Sudan mengalami kemerosotan.
Baca Juga: Sekilas tentang Jenderal Abdul Fattah al-Burhan, yang Ambil Alih Pemerintahan dan Kini Pimpin Sudan
Apakah Kekuatan Eksternal Bisa Melakukan Sesuatu atau Menengahi Pertikaian di Sudan?
Krisis ekonomi Sudan memberikan peluang bagi negara-negara Barat untuk menggunakan sanksi ekonomi guna menekan kedua belah pihak agar bersikap tenang.
Namun di Sudan, seperti halnya di negara-negara Afrika yang kaya sumber daya alam lainnya, kelompok bersenjata memperkaya diri melalui perdagangan gelap mineral langka dan sumber daya alam lainnya.
Dagalo, seorang mantan penggembala unta dari Darfur, punya banyak harta ternak dan operasi penambangan emas. Dia juga diyakini dibayar dengan baik oleh negara-negara Teluk atas jasa RSF dalam memerangi pemberontak yang terkait dengan Iran di Yaman.
Militer mengendalikan sebagian besar ekonomi, dan juga mengandalkan para pengusaha di Khartoum dan sepanjang sungai Nil yang menjadi kaya selama pemerintahan panjang al-Bashir dan menganggap RSF sebagai prajurit kasar dari pedalaman.
"Kendali atas dana politik akan menjadi sama pentingnya dengan medan perang," kata De Waal. "(Militer) akan ingin mengendalikan tambang emas dan jalur penyelundupan. RSF akan ingin mengganggu arteri transportasi utama termasuk jalan dari Port Sudan ke Khartoum."
Sementara itu, jumlah mediator yang berusaha - termasuk AS, PBB, Uni Eropa, Mesir, negara-negara Teluk, Uni Afrika, dan blok Afrika timur delapan negara yang dikenal sebagai IGAD - dapat membuat upaya perdamaian menjadi lebih rumit daripada perang itu sendiri.
"Para mediator eksternal berisiko menjadi kemacetan lalu lintas tanpa polisi," kata De Waal.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.