JAKARTA, KOMPAS.TV- Bendera berwarna kuning itu terbentang di tengah lautan manusia di Jalur Gaza, Palestina, Jumat 11 November lalu. Bendera kelompok Fatah itu sengaja dikibarkan untuk mengenang 18 tahun kematian Yasser Arafat, tokoh pembebasan Palestina.
Nama Yasser Arafat memang menjadi legenda yang tak tergantikan di Palestina, bahkan bagi sebagian negara-negara Timur Tengah dan negara-negara muslim dunia lainnya.
Sosok lelaki yang selalu berpenampilan khas, dengan kafiyeh dan pistol di pinggang itu, adalah ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Perjuangannya di PLO amat panjang, dari 1969 hingga menjelang kematiannya pada 2004. Pria kelahiran Kairo, Mesir pada 1929 ini, berada di garis depan, mewakili Palestina dalam perselisihan dengan Israel selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Israel Gelar Pemilu Kelima dalam Kurun 3,5 Tahun, Kandidat Ekstrem Kanan Menguat, Palestina Terancam
Namun perlawanannya kepada Israel bukan sebuah perlawanan tanpa alasan, tapi demi sebuah tanah air yang menjadi hak mereka.
Berkali-kali dia menjadi sosok yang mengawali sengketa perbatasan, gerakan pembebasan, hingga upaya mencapai perjanjian damai.
Awal perjuangannya dimulai saat dia masih remaja, Arafat yang berada di Kairo mulai menyelundupkan senjata ke Palestina. Ini digunakan melawan orang-orang Yahudi dan Inggris, yang mengambil peran administratif di tanah Palestina.
Diplomasi damai Arafat selalu ditunjukkan dengan menandatangani berbagai perjanjian damai, seperti pakta dengan Israel pada 1991, di Konferensi Madrid, dan bersama dengan para pemimpin Israel melakukan beberapa upaya untuk perdamaian abadi segera setelah itu, terutama melalui Kesepakatan Oslo (1993) dan KTT Camp David 2000.
Melalui Perjanjian Oslo, Arafat dan PM Israel kala itu, Yitzhak Rabin, serta Shimon Peres dari Israel membentuk kesepakatan perdamaian bersama, tapi syarat yang ditetapkan tidak pernah diterapkan.
Hingga akhirnya, Arafat menyerahkan jabatannya sebagai ketua PLO pada 2003 dan meninggal di Paris, Prancis pada 2004.
Berkali-kali perjanjian damai ini selalu dikhianati, hingga aksi kekerasan dari kedua belah pihak terus terjadi.
Bahkan, Yitzhak Rabin yang bersedia duduk di meja perundingan, justru tewas ditembak pada 1995 oleh Yigal Amir, seorang aktivis sayap kanan Israel yang menentang perjanjian damai Oslo.
Semenjak itu, perdamaian kedua negara seperti menegakkan benang basah.
Bahkan, Arafat harus menyusul Rabin dengan nasib yang tak kalah tragis. Dia meninggal dalam usia 75 tahun, pada 11 November 2004, setelah mengeluh sakit perut di kantor pusatnya di Kota Ramallah, Tepi Barat.
Arafat dinyatakan meninggal akibat gangguan darah. Namun pemeriksaan barang-barang miliknya dan penggalian kerangkanya untuk analisis lebih lanjut pada 2012 menunjukkan ia mungkin telah diracun dengan radioaktif polonium-210.
Baca Juga: Keponakan Yasser Arafat Tuding Israel Berada di Balik Kematian Tokoh Perlawanan Palestina Itu
Bahkan, laporan Institut Fisika Radiasi Rumah Sakit Universitas Lausanne menyatakan bahwa Arafat jatuh sakit parah sekitar empat jam setelah makan pada 12 Oktober 2004.
Istrinya, Suha, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kematian suaminya menyimpan konspirasi.
“Saya meminta Anda untuk menyadari ruang lingkup konspirasi. Mereka mencoba mengubur Abu Ammar (Arafat) hidup-hidup.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.