Tragedi Buffalo membuat pihak keluarga berang karena politikus tak berbuat banyak untuk mengatasi kekerasan bersenjata.
Menurut Martha Lincoln, profesor antropologi Universitas Negeri San Fransisco, perasaan keluarga korban tragedi Buffalo juga dirasakan oleh banyak orang Amerika lain.
Kata dia, perasaan itu terhimpun karena politikus sekadar membantu “doa” daripada mengubah kebijakan sehingga membereskan masalah.
“Saya tidak berpikir kebanyakan orang Amerika merasa baik-baik saja dengan itu. Saya pikir kebanyakan orang Amerika ingin melihat aksi nyata dari pemimpin mereka dalam masyarakat ini tentang isu-isu yang meresap tersebut,” kata Lincoln.
Lincoln menambahkan, terdapat “kekosongan politik” serupa perihal respons terhadap Covid-19 yang menyebabkan sejuta lebih kematian.
Kematian akibat Covid-19, seperti penembakan massal, sebenarnya bisa dicegah. Namun, selain kebijakan publik yang kurang responsif, opini publik Amerika disebut masih terbelah mengenai dua fenomena tersebut.
Megan Ranney, akademikus dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Brown, menyebut terdapat narasi hoaks oleh “aktor jahat” yang menjangkiti Amerika. Narasi-narasi itu membantah bahwa kematian akibat kekerasan bersenjata atau Covid-19 bisa dicegah, atau meyakini bahwa mereka yang mati pantas mendapatkannya.
“Saat orang-orang berpikir tidak ada yang bisa mereka lakukan, itu membelah kita,” kata Ranney.
Sonali Rajan, profesor Universitas Columbia yang meneliti kekerasan di sekolah, menyebut kekerasan bersenjata telah menjadi “bagian hidup” orang Amerika.
Menurut catatannya, kira-kira ada 100.000 orang yang ditembak di AS Per tahun, 40.000 di antaranya meninggal dunia.
“Luar biasa bagaimana tanggung jawab tentang itu seperti dilepas begitu saja, itulah bagaimana saya mendeskripsikannya,” kata Rajan.
Baca Juga: Amerika Serikat Cari Cara untuk Atasi Kelangkaan Susu Formula untuk Bayi
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.