KOLOMBO, KOMPAS.TV — Perekonomian Sri Lanka berada di tubir jurang yang sangat dalam. Betapa tidak, cadangan mata uang asing yang dapat digunakan anjlok menjadi kurang dari 50 juta dolar atau sekitar Rp 719 miliar.
Hal itu dikatakan menteri keuangan negara itu, Ali Sabry, Rabu (4/5/2022), seperti dilaporkan Associated Press, Kamis (5/5/2022).
Menteri keuangan Sri Lanka Ali Sabry berbicara kepada Parlemen setelah kembali ke Sri Lanka dari pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional IMF.
Dia mengatakan, setiap program penyelamatan IMF, termasuk instrumen pembiayaan cepat yang diperlukan untuk segera mengatasi kekurangan barang-barang penting, akan bergantung pada negosiasi restrukturisasi utang dengan kreditur dan akan memakan waktu enam bulan untuk diterapkan.
Sri Lanka berada di ambang kebangkrutan dan menangguhkan pembayaran pinjaman luar negerinya.
Kesengsaraan ekonomi Sri Lanka membuat negara itu terjengkang ke dalam krisis politik, dimana pemerintah menghadapi protes dan mosi tidak percaya di Parlemen.
Negara ini harus membayar 7 miliar dolar AS angsuran pinjaman luar negeri tahun ini dari total 25 miliar dolar AS pinjaman luar negeri yang dijadwalkan untuk dibayar pada 2026.
“Risiko berat ada di depan kita semua,” kata Sabri.
Dia mengatakan, cadangan Sri Lanka mencapai 7,6 miliar dolar pada akhir 2019 dan turun menjadi 5,7 miliar dolar AS pada akhir 2020 karena pembayaran ke luar melebihi arus masuk mata uang asing di tengah pandemi Covid-19.
Baca Juga: Presiden Sri Lanka Setuju Copot Kakaknya dari Posisi Perdana Menteri sebagai Respons Krisis Ekonomi
Cadangan mata uang asing pemerintah Sri Lanka turun menjadi 3,1 miliar dolar AS pada akhir 2021, dan anjlok menjadi 1,9 miliar dolar AS pada akhir Maret, katanya.
Dengan pasokan mata uang asing yang terbatas berkat berkurangnya pariwisata dan pendapatan lainnya, cadangan resmi disadap untuk membayar impor kebutuhan pokok termasuk bahan bakar, gas, batu bara, dan obat-obatan mulai Agustus 2021.
Sebagian besar sisa cadangan Sri Lanka, termasuk fasilitas SWAP senilai 1 miliar dollar dari China, tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan pembayaran dalam mata uang dolar, katanya.
Komentar Sabri muncul sehari setelah partai oposisi utama negara itu mengeluarkan mosi tidak percaya yang bertujuan untuk menggulingkan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa dan kabinetnya.
Oposisi United People's Force menyalahkan pemerintah karena gagal melaksanakan tugas konstitusionalnya untuk menyediakan standar hidup yang layak bagi rakyatnya.
Kubu oposisi menuduh pejabat tinggi pemerintah mencetak uang secara berlebihan, merugikan produksi pertanian dengan melarang pupuk kimia karena ingin membuat pertanian sepenuhnya organik dan ingin menekan biaya impor, karena gagal memesan vaksin Covid-19 tepat waktu dan membelinya nanti dengan harga lebih tinggi.
Tanggal belum diumumkan untuk pemungutan suara pada mosi tidak percaya.
Baca Juga: Bank Dunia Kucurkan 600 Juta Dollar AS Bantuan Keuangan ke Sri Lanka untuk Impor Penting
Krisis mata uang asing membatasi impor dan menyebabkan kelangkaan barang-barang penting seperti bahan bakar, gas untuk memasak, obat-obatan dan makanan.
Orang-orang harus mengantre berjam-jam untuk membeli apa yang mereka bisa dan banyak yang pulang ke rumah dengan sedikit, jika ada, dari apa yang mereka cari.
Protes telah menyebar menuntut pengunduran diri Mahinda Rajapaksa, yang mengepalai klan berpengaruh yang telah memegang kekuasaan selama hampir dua dekade terakhir, dan adiknya, Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Pendudukan pintu masuk kantor presiden oleh pengunjuk rasa yang menuntut pengunduran diri Rajapaksa terjadi pada hari ke-26 pada Rabu.
Sejauh ini, Rajapaksa bersaudara menolak seruan mengundurkan diri, meskipun tiga Rajapaksa lainnya dari lima anggota parlemen mengundurkan diri dari jabatan Kabinet mereka pada pertengahan April.
Sabri mengatakan, Sri Lanka sedang dalam proses menunjuk penasihat hukum dan keuangan untuk negosiasi restrukturisasi utang luar negerinya.
“Ini adalah krisis ekonomi. Krisis ekonomi telah menciptakan krisis politik. Penting untuk menyelesaikan krisis politik untuk menemukan solusi krisis ekonomi,” kata Sabri.
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.