KIEV, KOMPAS.TV - Sejak meluncurkan invasi besar-besaran pada 24 Februari lalu, militer Rusia berulang kali dituduh menyerang fasilitas atau personel medis Ukraina. Per Sabtu (26/3/2022), Associated Press telah mendokumentasikan setidaknya 34 serangan ke fasilitas medis.
Serangan-serangan itu menyasar rumah sakit, ambulans, tenaga medis, pasien, serta bayi yang baru lahir.
Jurnalis-jurnalis Associated Press di Ukraina telah menyaksikan langsung dampak serangan mematikan Rusia ke warga sipil: momen akhir anak-anak yang tubuhnya dicabik serpihan peluru meriam, warga sipil yang terkena ledakan hingga lengannya putus, puluhan mayat, dan kuburan massal.
Serangan-serangan tersebut membuat tekanan internasional agar Vladimir Putin dan pejabat tinggi Kremlin diseret ke pengadilan kejahatan perang, menguat.
Baca Juga: Termasuk Inggris dan AS, 6 Negara Ini Tuduh Rusia Lakukan Kejahatan Perang, Sebut Ada Bukti Nyata
Dokumentasi Associated Press sendiri menunjukkan Rusia memiliki pola yang konsisten dan tanpa henti dalam serangan ke infrastruktur sipil.
“Pola serangan akan membantu jaksa mengembangkan kasus untuk menyelidiki apakah ini serangan-serangan yang disengaja,” kata Ryan Goodman, profesor hukum di Universitas New York.
“Jaksa akan menarik kesimpulan dari seberapa banyak fasilitas medis yang diserang, seberapa kali fasilitas individu (sipil) diserang secara berulang dan dalam jangka waktu seberapa,” lanjutnya.
Serangan ke fasilitas sipil tak cukup untuk membuktikan kejahatan perang. Serangan itu harus dibuktikan dilakukan secara sengaja atau sembrono.
Baca Juga: [FULL] Wawancara dengan Dubes Inggris untuk Indonesia Terkait Konflik Ukraina dan Rusia hingga G20
Kremlin sendiri selama ini berulang kali membantah pihaknya sengaja menargetkan warga sipil. Namun, berbagai laporan muncul mengenai serangan Rusia ke gedung tempat tinggal, fasilitas medis, atau gedung yang dijadikan tempat pengungsian.
Serangan militer ke properti atau populasi sipil dilarang hukum internasional yang mengatur konflik bersenjata.
Juga, serangan ke fasilitas atau tenaga medis secara khusus dianggap bengis oleh hukum internasional. Fasilitas atau tenaga medis wajib dilindungi oleh siapa pun pihak yang terlibat konflik.
Jaksa Agung Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) Karim Ahmad Khan telah mengumumkan pembukaan investigasi terhadap dugaan kejahatan perang di Ukraina sejak awal Maret lalu.
Pavlo Kovtoniuk, konsultan Badan Kesehatan Dunia (WHO) asal Ukraina menuduh Rusia mengebom “infrastruktur medis dengan sengaja, menyerang orang-orang sakit seakan-akan mereka tentara.”
“Mengebom rumah sakit amatlah kejam karena itu menunjukkan pada warga sipil bahwa tidak ada tempat aman bagi mereka di dunia ini,” kata Kovtoniuk.
Statistik jumlah serangan Rusia ke fasilitas medis Ukraina sendiri berbeda-beda di tengah invasi. Kementerian Kesehatan Ukraina menyebut 248 fasilitas medis diserang, 13 di antaranya sepenuhnya hancur.
Sementara itu, WHO menghitung 58 fasilitas medis rusak akibat serangan Rusia. Sedangkan dokumentasi Associated Press dan Frontline sejauh ini menghitung ada 34 serangan.
Ahli hukum berpendapat, jaksa pengadilan kejahatan perang yang akan datang kemungkinan menggunakan bukti-bukti yang ada mengenai serangan berulang ke fasilitas medis. Serangan seperti ini dapat dianggap sebagai strategi untuk menghancurkan semangat populasi sipil musuh.
Sejauh ini, serangan Rusia ke fasilitas medis yang didokumentasikan Associated Press dan Frontline antara lain adalah pengeboman rumah sakit anak dan rumah sakit bersalin di Mariupol pada 9 Maret, pengeboman rumah sakit anak di Kharkiv pada 25 Februari, serta serangan ke unit ambulans di Kherson pada 26 Februari.
Perang Ukraina sendiri bukanlah kali pertama Rusia menyerang fasilitas medis. Ketika membantu pemerintahan Bashar Al-Assad dalam perang sipil Suriah, Rusia juga berulang kali mengebom fasilitas medis.
Kelompok advokasi Physicians for Human Rights, yang melacak serangan ke fasilitas atau tenaga medis di Suriah, mendokumentasikan lebih dari 250 serangan ke fasilitas atau tenaga medis sejak Rusia mengintervensi pada 2015.
Baca Juga: Turki Jadi Mediator, Erdogan: Ukraina Tampaknya Sepakat atas 4 Isu Ini, tapi 2 Poin Masih Alot
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.