WASHINGTON, KOMPAS.TV – Dibangun dan dilatih oleh Amerika Serikat (AS) selama dua dekade dengan biaya USD83 miliar (sekitar Rp1.192 triliun), pasukan keamanan Afghanistan tumbang dengan begitu cepat, seluruhnya. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menyerah tanpa perlawanan atau tembakan sekali pun.
Kini, investasi AS itu justru dimanfaatkan Taliban. Kelompok pemberontak itu tak cuma mengambil alih kekuasaan politik, tapi juga persenjataan yang dipasok AS: senjata, amunisi, helikopter, dan banyak lagi.
Melansir Associated Press, Taliban merebut berbagai peralatan militer modern ketika mereka menyerbu pasukan Afghanistan yang gagal mempertahankan pusat-pusat distrik. Keuntungan yang lebih besar menyusul saat Taliban merangsek ibu kota provinsi, pangkalan militer, juga ibu kota Kabul dengan kecepatan menakjubkan. Ini termasuk pesawat tempur yang disita Taliban.
Seorang pejabat pertahanan AS mengonfirmasi, akumulasi peralatan perang Afghanistan pasokan AS yang diperoleh Taliban sangatlah besar.
Sang pejabat tidak diidentifikasi karena tak berwenang membahas masalah ini secara terbuka. Ini, katanya, merupakan konsekuensi memalukan dari kesalahan militer dan intelijen AS dalam menilai daya tahan pasukan pemerintah Afghanistan.
Dalam beberapa kasus, tentara Afghanistan bahkan memilih langsung menyerahkan kendaraan dan senjata mereka ketimbang berperang.
Baca Juga: Masa Depan Ekonomi Afghanistan di Bawah Taliban, Prediksi Investasi China hingga Negara Narkoba
Pasukan Afghanistan Kekurangan Motivasi Bertempur
Kegagalan AS memproduksi angkatan bersenjata dan polisi Afghanistan yang berkelanjutan, juga alasan keruntuhan mereka, akan dipelajari selama bertahun-tahun oleh para analis militer.
Bagaimana pun, dimensi dasarnya jelas dan bukannya tidak seperti yang terjadi di Irak. Pasukan binaan itu ternyata kopong, dipersenjatai dengan senjata canggih nan unggul, tapi sebagian besar kehilangan unsur penting berupa motivasi tempur.
“Uang tak bisa membeli tekad. Kau tak bisa membeli kepemimpinan,” ujar John Kirby, kepala juru bicara Menteri Pertahanan AS Llyod Austin, Senin (16/8/2021).
Doug Luter, seorang pensiunan letnan jenderal Angkatan Darat AS yang membantu mengarahkan strategi perang Afghanistan selama masa pemerintahan George W Bush dan Barack Obama, menyatakan, pasukan Afghanistan menerima sumber daya berwujud. Namun, mereka kekurangan unsur yang jauh lebih penting berupa sumber daya tak berwujud.
Baca Juga: Bandara Kabul Makin Kusut, Ribuan Merangsek Ingin Keluar Afghanistan, Naik ke Atas Badan Pesawat
“Prinsip perang pada dasarnya tetap: faktor moral mendominasi faktor material. Moral, disiplin, kepemimpinan dan kesatuan unit lebih menentukan daripada jumlah pasukan dan peralatan,” katanya. “Sebagai orang luar di Afghanistan, kami dapat menyediakan materi, tapi hanya orang Afghanistan yang dapat menyediakan faktor moral yang tidak berwujud.”
Sebagai perbandingan, kelompok pemberontak Taliban, dengan jumlah yang lebih sedikit, persenjataan yang kurang canggih dan tak punya kekuatan udara, terbukti lebih unggul.
Intelijen AS telah memandang remeh keunggulan itu. Bahkan setelah Presiden AS Joe Biden mengumumkan pada April lalu akan menarik seluruh pasukan AS, intelijen AS tidak memperkirakan serangan akhir Taliban yang sukses dengan begitu spektakuler.
Baca Juga: Rusia Klaim Presiden Ashraf Ghani Tinggalkan Afghanistan dengan 4 Mobil dan 1 Helikopter Penuh Uang
Stephen Biddle, profesor Hubungan Internasional dan Umum di Universitas Columbia menyebut, pengumuman penarikan pasukan AS oleh Biden memicu keruntuhan pasukan Afghanistan.
“Penarikan pasukan AS mengirim sinyal secara nasional dan tiba-tiba, yang dibaca oleh semua orang dengan cara yang sama,” kata Biddle yang merupakan mantan penasihat komandan perang AS di Afghanistan. Sebelum pengumuman penarikan pasukan pada April, terang Biddle, pemerintah Afghanistan pelan tapi pasti, kalah perang.
“Saat mereka menyadari bahwa mitra Amerika mereka akan pulang, dorongan untuk menyerah tanpa perlawanan pun menyebar seperti api,” imbuh Biddle.
Sejumlah unsur tentara Afghanistan memang melawan dengan keras, termasuk pasukan komando yang beraksi heroik namun luput dari perhatian. Namun, secara keseluruhan, kejatuhan pasukan Afghanistan merupakan efek domino yang dipicu kegagalan para pemimpin sipil dan militer AS. Ini diungkapkan Anthony Cordesman, analis perang Afghanistan di Pusat Studi Strategis dan Internasional.
Baca Juga: Jenderal Muda dan Tampan Afghanistan Naik Daun, Pimpin 20.000 Tentara Melawan Kelompok Taliban
AS Sumbang Dana Besar-Besaran untuk Bangun Tentara Afghanistan
Latihan pembangunan kekuatan Afghanistan sangat bergantung pada sumbangan AS, hingga Pentagon bahkan membayar gaji pasukan Afghanistan.
Kerap, uang yang mengalir, juga pasokan bahan bakar yang tak terhitung, dikorupsi oleh para pejabat dan pengawas pemerintah korup, yang menyulap kebutuhan belanja anggaran di atas kertas. Mereka menciptakan ‘tentara hantu’ agar dolar tetap mengalir.
Dari sekitar USD145 miliar yang dihabiskan pemerintah AS untuk membangun kembali Afghanistan, sekitar USD83 miliar dialokasikan untuk mengembangkan dan melanjutkan kekuatan tentara dan polisi.
Ini menurut Kantor Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan, pengawas bentukan kongres yang telah melacak perang sejak 2008. Dana sebesar USD145 miliar itu merupakan tambahan dari USD837 miliar yang dibelanjakan AS untuk perang yang dimulai dengan invasi pada Oktober 2001 silam itu.
Dana sebesar USD83 miliar yang diinvestasikan dalam pasukan Afghanistan selama 20 tahun terakhir itu, jumlahnya hampir dua kali lipat anggaran tahun lalu untuk seluruh Korps Marinir AS. Jumlah itu juga sedikit lebih banyak dari yang dianggarkan Washington tahun lalu untuk bantuan kupon makanan bagi sekitar 40 juta rakyat AS.
Dalam bukunya yang bertitel “The Afghanistan Papers”, jurnalis Craig Whitlock menulis bahwa para pelatih AS mencoba memaksakan cara-cara Barat pada para tentara rekrutan Afghanistan. Mereka, tulis Whitlock, kurang memikirkan apakah dolar hasil pembayaran pajak rakyat AS diinvestasikan dalam tentara yang benar-benar layak.
“Mengingat bahwa strategi perang AS bergantung pada kinerja tentara Afghanistan, bagaimana pun, Pentagon secara mengejutkan tidak terlalu memperhatikan pertanyaan apakah warga Afghanistan bersedia mati untuk pemerintah mereka,” tulis Whitlock.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.