KABUL, KOMPAS.TV - Taliban menyatakan mereka tetap berkomitmen pada pembicaraan damai tetapi bersikeras bahwa "sistem Islam sejati" di Afghanistan adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri perang dan menjamin hak, termasuk hak perempuan, seperti dilansir France24, Minggu (20/6/2021).
Negosiasi antara Taliban dan pemerintah Afghanistan mandek berbulan-bulan, dan sejak Mei kekerasan meningkat di seluruh negeri saat AS tarik pasukan terakhirnya.
Kekhawatiran juga berkembang bahwa jika Taliban kembali berkuasa, mereka akan menerapkan kembali hukum Islam mereka yang keras, seperti anak perempuan dilarang bersekolah dan perempuan yang dituduh melakukan kejahatan seperti perzinahan dirajam sampai mati di stadion.
Terlepas dari meningkatnya kekerasan, salah satu pendiri dan wakil pemimpin Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar mengatakan pada hari Minggu kelompok itu berkomitmen untuk pembicaraan damai.
"Partisipasi kami dalam negosiasi ... menunjukkan secara terbuka kami percaya penyelesaian masalah melalui saling memahami," kata Baradar dalam sebuah pernyataan.
Baca Juga: Taliban Umumkan Gencatan Senjata Selama Idulfitri, Beberapa Jam Kemudian Bom Meledak, 11 Tewas
Dia mengatakan satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik di Afghanistan adalah dengan membangun sistem Islam setelah kepergian semua pasukan asing.
"Sebuah sistem Islam sejati adalah cara terbaik untuk solusi dari semua masalah Afghanistan," kata Baradar.
Pernyataannya mengakui kekhawatiran yang merebak di Afghanistan dan luar negeri tentang jenis sistem yang akan diterapkan dan dampaknya terhadap perempuan, Baradar mengatakan hal tersebut akan masuk dalam lingkup negosiasi intra atau di dalam Afghanistan sendiri.
Baradar juga meyakinkan hak-hak semua warga Afghanistan, termasuk perempuan, akan diakomodasi dalam sistem itu, yang akan didasarkan pada Islam dan tradisi Afghanistan.
Baca Juga: Kastaf Gabungan AS: Militer Afghanistan Berpeluang Kepayahan Melawan Taliban Sepeninggal Pasukan AS
Taliban Menghancurkan Afghanistan
Banyak yang khawatir interpretasi Taliban tentang hak-hak asasi dan sipil akan berbenturan dengan perubahan yang telah terjadi di masyarakat Afghanistan sejak 2001.
Pada bulan Mei, sebuah laporan intelijen AS mengatakan keuntungan yang diperoleh selama dua dekade terakhir pada hak-hak perempuan akan langsung pupus jika Taliban kembali berkuasa.
Ketika militer AS terus maju untuk memenuhi tenggat 11 September batas penarikan pasukan, Taliban bertempur setiap hari dengan pasukan pemerintah dan mengklaim telah merebut 40 distrik.
Meningkatnya ketakutan dan ketidakpastian tentang masa depan memaksa banyak warga Afghanistan untuk mencoba pindah dan pergi, termasuk ribuan pria dan wanita yang takut akan pembalasan karena mereka bekerja dengan pasukan asing.
Baradar meminta para pemuda Afghanistan untuk tidak meninggalkan negara itu, dan juga menekankan Taliban memastikan kaum minoritas, organisasi kemanusiaan, dan diplomat tidak perlu takut.
Baca Juga: Taliban Rebut Distrik Penting di Afghanistan dari Tentara Pemerintah, Ribuan Warga Melarikan Diri
Kekalahan pasukan pemerintah di berbagai lokasi baru-baru ini memaksa Presiden Ashraf Ghani mengganti menteri pertahanan dan menteri dalam negerinya.
Pada hari Sabtu, ia mengumumkan perubahan kabinet dan meminta Taliban untuk membuat pilihan antara perdamaian atau permusuhan dengan pemerintah.
"Jika mereka memilih permusuhan maka rakyat akan menanggapi mereka dengan tegas," katanya pada Sabtu malam dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh istana kepresidenan.
Ghani menyalahkan Taliban karena memulai perang dan menuduh mereka gagal membuat rencana untuk membangun perdamaian.
"Sebagai pejabat pemerintah yang sah, kami berkomitmen pada semua hukum kemanusiaan dalam perang, tetapi Taliban melanggar hukum ini dan menghancurkan Afghanistan," katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.