Baca Juga: Junta Militer Myanmar Larang Kerumunan, Unjuk Rasa Jalan Terus di Yangon, Mandalay dan Naypyidaw
Kampanye media sosial ini adalah jenis protes baru yang kreatif untuk Myanmar, kata Htaike Htaike Aung, direktur eksekutif Myanmar ICT for Development, kelompok hak digital yang berbasis di Yangon.
"Generasi muda... ada di Facebook, TikTok, Instagram, dan Discord memobilisasi anak-anak muda lainnya," katanya kepada AFP seperti dikutip oleh Kompas.com.
Tidak seperti generasi sebelumnya yang banyak terputus dari dunia luar selama 49 tahun pemerintahan militer, para pengunjuk rasa Myanmar sekarang lebih muda dan melek internet.
Banyak kata-kata protes yang mereka tulis dalam bahasa Inggris, seakan ingin menarik perhatian dunia. Media sosial pun dimanfaatkan untuk bertukar tips cara unjuk rasa yang aman dari pengunjuk rasa di Hong Kong dan Thailand.
Baca Juga: Pemimpin Tertinggi Militer Myanmar Pidato, Berjanji Serahkan Kekuasaan Kepada Pemenang Pemilu Baru
Sebelum Myanmar memulai transisi demokrasi tahun 2011, warnet semarak di kota-kota besar, namun akses Skype, Gmail, dan Facebook dibatasi ketat oleh junta militer.
Kemudian, kendati penggunaan smartphone melonjak di seluruh dunia, jumlah ponsel pintar di Myanmar adalah yang kedua paling sedikit di dunia, di bawah Korea Utara. Kartu SIM pun harganya ribuan dollar (belasan juta rupiah).
Situasi berubah 2013 ketika pemerintah mengakhiri monopoli negara di sektor telekomunikasi. Harga kartu SIM turun drastis dan ponsel pintar dari China dengan aplikasi Facebook bawaan dijual luas.
Lalu kini dunia maya Myanmar berkembang pesat dengan munculnya aplikasi ojek online, pesan antar makanan, dan platform transfer uang dalam bentuk emas internet.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.