NAYPYIDAW, KOMPAS.TV - Pengungsi Rohingya asal Myanmar yang berada di kamp-kamp di Cox Bazar, Bangladesh mengutuk kudeta militer yang terjadi di tanah air mereka dan mengatakan peristiwa itu membuat mereka lebih takut untuk kembali.
Operasi kontra insurgensi militer Myanmar pada 2017 menghasilkan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran desa sehingga mendorong lebih dari 700.000 etnik Rohingya mengungsi ke Bangladesh, seperti dilansir Kompas.com
Alhasil, Bangladesh kini memiliki kamp-kamp pengungsi yang padat, dan sangat ingin mengirim mereka kembali ke Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.
Baca Juga: Min Aung Hlaing yang Kini Pimpin Myanmar, Ternyata Terlibat Dalam Genosida Muslim Rohingya
Banyak warga Rohingya menolak repatriasi karena kuatir akan lebih banyak kekerasan yang terjadi bila mereka kembali ke Myanmar, sehingga beberapa upaya repatriasi di bawah kesepakatan bersama gagal terlaksana. Myanmar selama ini tidak mengakui kelompok Rohingya sebagai salah satu etnis mereka.
Para pengungsi pada Selasa (02/02/2021) mengatakan bahwa mereka lebih takut dengan keadaan sekarang ini karena militer memegang kendali penuh.
"Militer membunuh kami, memperkosa saudara perempuan dan ibu kami, membakar desa kami. Bagaimana mungkin kami tetap aman di bawah kendali mereka?" kata Khin Maung, kepala Asosiasi Pemuda Rohingya di kamp-kamp di distrik Cox's Bazar.
Baca Juga: Kebakaran Besar di Kamp Pengungsi Rohingya di Bangladesh, 3,500 Pengungsi Kehilangan Tempat Berteduh
"Setiap repatriasi damai akan sangat berdampak. Ini akan memakan waktu lama karena situasi politik di Myanmar sekarang lebih buruk," katanya kepada kantor berita Associated Press.
Pernyataan itu muncul menyusul pertemuan pejabat dari Myanmar dan Bangladesh bulan lalu untuk membahas cara-cara memulai repatriasi.
Kementerian Luar Negeri Bangladesh tampaknya sangat mengharapkan upaya repatriasi ini bisa sukses dan mengatakan berharap untuk memulainya sekitar bulan Juni.
Tetapi para pengungsi mengatakan mereka sangat menentang pengambilalihan kekuasaan oleh militer. “Kami mengutuk keras kudeta itu.
Baca Juga: Aung San Suu Kyi: Dari Ikon Perdamaian Hingga Menjadi Cercaan Dunia Karena Rohingya
Kami mencintai demokrasi dan hak asasi manusia, jadi kami khawatir kehilangan keduanya di negara kami,” kata Maung.
“Kami adalah bagian dari Myanmar, jadi kami merasakan hal yang sama seperti rakyat Myanmar pada umumnya. Kami mendesak masyarakat internasional untuk bersuara menentang kudeta, ” tambahnya.
'Akan lebih menyiksa kami' Salah seorang pengungsi Rohingya, Mohammad Jaffar yang berusia 70 tahun, mengatakan mereka telah menunggu untuk kembali.
“Harapan bahwa kami harus kembali sekarang telah terputus oleh perubahan rezim di Myanmar ini,” kata Jaffar.
Baca Juga: 1,804 Pengungsi Rohingya Gelombang Kedua Dipindahkan Bangladesh ke Pulau Bhasan Char
“Repatriasi tidak akan aman sama sekali di bawah rezim ini. Sekarang jika kami kembali ke tangan orang-orang yang bertanggung jawab atas penyiksaan terhadap kami, kami mungkin harus menanggung rasa sakit dua kali lebih banyak dari sebelumnya,” sambung Jaffar.
Sementara, para pengungsi lainnya mengatakan repatriasi tidak mungkin dilakukan sekarang. “Bahkan jika mereka mencoba memulangkan kami, kami tidak akan setuju untuk kembali dalam situasi saat ini.
Jika mereka membawa kami kembali ke rezim itu, mereka akan lebih menyiksa kami,” kata Nurul Amin salah seorang pengungsi Rohingya.
Baca Juga: Bangladesh Akan Kirim Gelombang Kedua Pengungsi Rohingya ke Pulau Bhasan Char
Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengatakan pada Senin (01/02/2021) mereka berharap kudeta tidak akan menghambat repatriasi para pengungsi.
"Sebagai negara tetangga yang dekat dan ramah, kami ingin melihat perdamaian dan stabilitas di Myanmar," ujar Kementerian Luar Negeri Bangladesh.
"Kami bertekad kuat dalam mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan Myanmar dan telah bekerja dengan Myanmar untuk pemulangan Rohingya secara sukarela, aman dan berkelanjutan yang saat ini berlindung di Bangladesh,” imbuhnya.
Baca Juga: Bangladesh Bersiap Pindahkan Pengungsi Rohingya ke Pulau Terpencil
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan tindakan keras militer Myanmar terhadap Rohingya sebagai bentuk genosida.
Secara total, lebih dari 1 juta pengungsi dilindungi oleh Bangladesh.
Kudeta pada Senin adalah kemunduran demokrasi secara dramatis bagi Myanmar, yang muncul dari pemerintahan militer yang ketat dan isolasi internasional yang dimulai pada 1962.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.