TOKYO, KOMPAS.TV- Komunitas masyarakat Muslim di prefektur Oita Jepang menghadapi kendala dalam mengupayakan tersedianya lahan pemakaman untuk menguburkan jenazah umat Muslim sesuai dengan keyakinan mereka.
Dikutip dari The Mainichi Shimbun, di Prefektur Oita, sebelah barat daya Jepang, salah satu rencana untuk membangun pemakaman Muslim mengalami kemunduran akibat tentangan tak terduga dari penduduk setempat yang umumnya memilih mengkremasi jenazah warga yang meninggal.
Saeed Zafar, kelahiran Pakistan, pada Desember 2011 kehilangan putranya yang meninggal setelah lahir prematur. Saeed Zafar yang bekerja sebagai karyawan perusahaan di Beppu prefektur Oita kepulauan Kyushu, menghadapi kendala untuk menguburkan putranya karena di wilayah Kyushu di barat daya Jepang, tidak ada kuburan untuk umat Islam.
Zafar yang tiba di Jepang pada tahun 2000 dan telah memperoleh kewarganegaraan Jepang, mendapatkan tawaran dari Gereja Katolik setempat untuk memakamkan putra nya di kompleks pemakaman Katolik.
Hal itu juga terbuka untuk umat Muslim di wilayah itu. Tapi sekarang tidak ada lagi petak kosong di kuburan itu, dan umat Islam di sekitar tempat tinggal Zafar khawatir tentang apa yang harus dilakukan.
Dalam perkembangan nya, Asosiasi Muslim Beppu, mencoba membangun pemakaman Muslim pertama di Kyushu. Pada Desember 2018 Asosiasi ini membeli sebidang tanah seluas sekitar 8.000 meter persegi di kota Hiji masih di wilayah prefektur Oita.
Undang-Undang Makam dan Penguburan Jepang sebenarnya tidak menetapkan batasan apa pun tentang lahan untuk penguburan. Tetapi beberapa otoritas kota di Jepang, memiliki peraturan yang melarang penguburan.
Namun demikian, kota Hiji tidak memiliki larangan penguburan terkait pemakaman lokal, dan selama Walikota atau kepala daerah setempat memberikan izin, pemakaman Islam dapat dibangun.
Tanah yang dibeli Asosiasi Muslim Beppu itu, terletak di daerah pegunungan sekitar 3 kilometer dari pemukiman terdekat. Selain ada rumah penduduk juga ada ladang pertanian. Bisa dipastikan lokasi tanah untuk pemakaman Muslim itu akan berdampingan.
Tahir Khan, salah seorang pengurus asosiasi itu berkeyakinan dapat menyelesaikan segala masalah yang ada.
"Saya pikir kami akan mampu menyelesaikan masalah ini", ujar Tahir Khan kepada Mainichi Shimbun.
Namun demikian, pihak Asosiasi menghadapi kendala yang tak terduga dari warga setempat. Beberapa warga bahkan mengajukan petisi kepada pemerintah kota dan majelis untuk menghentikan pembangunan kompleks makam itu. Terkait hal itu, hingga kini pihak Asosiasi Muslim Beppu masih belum mendapat izin untuk membangun pemakaman tersebut.
Hiji, memang memiliki peraturan, yang memungkinan meminta Asosiasi mempertimbangkan kembali karena menimbulkan kekhawatiran terhadap sanitasi, namun, divisi kehidupan dan lingkungan pemerintah kota telah mengatakan bahwa pemakaman tersebut tidak memiliki masalah terkait kesehatan masyarakat.
Pemerintah setempat mengaku tak memerlukan persetujuan penduduk terkait hal itu.
"Kami tengah memeriksa dokumen dari asoasi tersebut. Kami akan membuat keputusan yang seiring dengan ketetapan pemerintah pusat dan kota,” ujar Walikota Hiji, Hirofumi Honda.
Terkait kondisi itu, Tahir Khan mengungkapkan keputusasaan nya.
"Saya khawatir apa yang akan terjadi pada kita setelah kita mati. Jika ini terus berlanjut seperti ini kita tidak akan bisa berduka atas kematian kita. Dahulu kala di Jepang adalah hal yang biasa untuk memakamkan seseorang yang sudah meninggal dunia. Kami ingin Jepang lebih toleran terhadap agama dan budaya yang berbeda", keluh Tahir Khan.
Baca Juga: Viral! Ada Larangan Cuci Kaki di Wastafel Berbahasa Indonesia di Toilet Jepang
Pada tahun 2010, sebuah organisasi keagamaan di Tokyo, Japan Islamic Trust, berencana membangun pemakaman di bagian pegunungan kota Ashikaga di Prefektur Tochigi. Proyek tersebut terpaksa dibatalkan karena ada tentangan dari warga.
Namun demikian, ada kerjasama lintas agama yang membantu masalah pemakaman bagi umat Muslim di Jepang. Sebuah pemakaman non-religius yang dikelola oleh sebuah kuil di kota Joso di Prefektur Ibaraki, Jepang timur, menyediakan sudut tanahnya dengan 500 plot tersedia untuk pemakaman Muslim.
Kepala kuil memutuskan untuk menerima mereka setelah mengetahui tentang kesulitan membangun kompleks pemakaman Muslim di Jepang.
Menurut Asosiasi Muslim Jepang (Japan Muslim Association/JMA) yang berbasis di Tokyo, tercatat ada lebih dari 100.000 Muslim di Jepang pada 2010. Pada 2019 lalu, jumlah itu meningkat menjadi sekitar 230.000 orang. Populasi mereka diperkirakan akan terus bertambah, namun hanya ada sekitar 10 kuburan di Jepang yang menerima penguburan, termasuk yang tidak eksklusif untuk umat Islam.
Dalam periode setelah perang, sekitar setengah dari orang Jepang yang meninggal dimakamkan. Namun sekarang hampir semua orang yang meninggal dikremasi. Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, pada tahun fiskal 2018, 99,97% dari sekitar 1,4 juta orang yang dikuburkan di Jepang dikremasi. Dari 472 orang yang dimakamkan, 355 di antaranya adalah janin yang lahir mati. Bahkan di antara umat Katolik di Jepang, yang dulunya sering dikuburkan, menjadi lebih umum bagi mereka untuk dikremasi.
Yoko Nagae, seorang profesor pakar budaya di Universitas Seitoku berpendapat, lokasi rencana pembangunan kompleks makam Muslim di Oita, berada di pegunungan yang sebenarnya tidak akan mengganggu pemukiman penduduk terkait dengan masalah kesehatan.
"Tampaknya ada ketidaknyamanan tentang gagasan dimakamkan di Jepang. Bagi umat Muslim, kuburan adalah tempat yang menghibur orang mati. Dalam kasus Prefektur Oita, penyelenggara telah memilih tanah yang tidak menimbulkan masalah kesehatan masyarakat karena terletak di pegunungan, dimana penduduk setempat tidak akan diganggu. Keragaman budaya pemakaman untuk hidup berdampingan, kita harus memperdalam pemahaman kita tentang satu sama lain dan bergerak maju", ujar Yoko Nagar. (Andy Lala)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.