Hiji, memang memiliki peraturan, yang memungkinan meminta Asosiasi mempertimbangkan kembali karena menimbulkan kekhawatiran terhadap sanitasi, namun, divisi kehidupan dan lingkungan pemerintah kota telah mengatakan bahwa pemakaman tersebut tidak memiliki masalah terkait kesehatan masyarakat.
Pemerintah setempat mengaku tak memerlukan persetujuan penduduk terkait hal itu.
"Kami tengah memeriksa dokumen dari asoasi tersebut. Kami akan membuat keputusan yang seiring dengan ketetapan pemerintah pusat dan kota,” ujar Walikota Hiji, Hirofumi Honda.
Terkait kondisi itu, Tahir Khan mengungkapkan keputusasaan nya.
"Saya khawatir apa yang akan terjadi pada kita setelah kita mati. Jika ini terus berlanjut seperti ini kita tidak akan bisa berduka atas kematian kita. Dahulu kala di Jepang adalah hal yang biasa untuk memakamkan seseorang yang sudah meninggal dunia. Kami ingin Jepang lebih toleran terhadap agama dan budaya yang berbeda", keluh Tahir Khan.
Baca Juga: Viral! Ada Larangan Cuci Kaki di Wastafel Berbahasa Indonesia di Toilet Jepang
Pada tahun 2010, sebuah organisasi keagamaan di Tokyo, Japan Islamic Trust, berencana membangun pemakaman di bagian pegunungan kota Ashikaga di Prefektur Tochigi. Proyek tersebut terpaksa dibatalkan karena ada tentangan dari warga.
Namun demikian, ada kerjasama lintas agama yang membantu masalah pemakaman bagi umat Muslim di Jepang. Sebuah pemakaman non-religius yang dikelola oleh sebuah kuil di kota Joso di Prefektur Ibaraki, Jepang timur, menyediakan sudut tanahnya dengan 500 plot tersedia untuk pemakaman Muslim.
Kepala kuil memutuskan untuk menerima mereka setelah mengetahui tentang kesulitan membangun kompleks pemakaman Muslim di Jepang.
Menurut Asosiasi Muslim Jepang (Japan Muslim Association/JMA) yang berbasis di Tokyo, tercatat ada lebih dari 100.000 Muslim di Jepang pada 2010. Pada 2019 lalu, jumlah itu meningkat menjadi sekitar 230.000 orang. Populasi mereka diperkirakan akan terus bertambah, namun hanya ada sekitar 10 kuburan di Jepang yang menerima penguburan, termasuk yang tidak eksklusif untuk umat Islam.
Dalam periode setelah perang, sekitar setengah dari orang Jepang yang meninggal dimakamkan. Namun sekarang hampir semua orang yang meninggal dikremasi. Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, pada tahun fiskal 2018, 99,97% dari sekitar 1,4 juta orang yang dikuburkan di Jepang dikremasi. Dari 472 orang yang dimakamkan, 355 di antaranya adalah janin yang lahir mati. Bahkan di antara umat Katolik di Jepang, yang dulunya sering dikuburkan, menjadi lebih umum bagi mereka untuk dikremasi.
Yoko Nagae, seorang profesor pakar budaya di Universitas Seitoku berpendapat, lokasi rencana pembangunan kompleks makam Muslim di Oita, berada di pegunungan yang sebenarnya tidak akan mengganggu pemukiman penduduk terkait dengan masalah kesehatan.
"Tampaknya ada ketidaknyamanan tentang gagasan dimakamkan di Jepang. Bagi umat Muslim, kuburan adalah tempat yang menghibur orang mati. Dalam kasus Prefektur Oita, penyelenggara telah memilih tanah yang tidak menimbulkan masalah kesehatan masyarakat karena terletak di pegunungan, dimana penduduk setempat tidak akan diganggu. Keragaman budaya pemakaman untuk hidup berdampingan, kita harus memperdalam pemahaman kita tentang satu sama lain dan bergerak maju", ujar Yoko Nagar. (Andy Lala)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.