JAKARTA, KOMPAS.TV - Bayangkan ketika kamu bersedih karena urusan pekerjaan, kemudian rekan kerjamu menganggap kesedihan itu adalah sesuatu yang berlebihan. Apa yang kamu rasakan saat berada di posisi tersebut? Apakah kamu merasa lebih tenang atau justru semakin sedih?
Perasaan pasti campur aduk saat berada di situasi tersebut. Di satu sisi, kita seperti diminta untuk tidak bersedih lagi karena perasaan itu dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan.
Di lain sisi, kita semakin sedih karena perasaan tidak divalidasi oleh orang lain. Bahkan, kita jadi merasa bersalah dengan keadaan ini.
Sikap yang tidak memvalidasi perasaan tersebut dinamakan gaslighting. Secara definisi, gaslighting adalah tindakan memanipulasi seseorang dengan memaksa korban untuk mempertanyakan pikiran, perasaan, dan peristiwa yang dialami.
Istilah ini berasal dari film bertajuk “Gaslight” yang bercerita tentang manipulasi seorang suami kepada istri untuk meyakinkannya bahwa ia akan gila.
“Semua orang bisa saja mengalami dan melakukan gaslighting,” ungkap psikolog klinis, Dra. Astrid Regina Sapiie, dalam episode “Begini Caranya, Menghadapi Pasangan Yang Gaslighting” pada siniar Anyaman Jiwa.
Meski siapapun dapat melakukan gaslighting, Astrid mengungkapkan bahwa pelaku gaslighting cenderung berasal dari seseorang yang ingin menguasai orang lain.
“Selain itu, situasi ini umumnya dilakukan oleh atasan, kakak, suami, atau seseorang yang memiliki posisi lebih tinggi,” jelas Astrid.
“Pelaku memanipulasi korban dengan menghancurkan keyakinan atau pendapat korban. Akibatnya, kepribadian korban menjadi hancur,” jelas Astrid.
Lebih lanjut, Astrid menyebutkan dampak panjang gaslighting yang dialami korban, seperti depresi, cemas, dan hilangnya rasa percaya diri.
Bahkan lebih parahnya lagi, karena pelaku berhasil memanipulasi dan menyalahkan cara berpikir, alhasil korban beranggapan bahwa pelaku merupakan sumber kebenaran.
Akhirnya, korban bergantung kepada pelaku karena adanya anggapan tersebut.
“Ini adalah suatu kekerasan psikologis,” ucap Astrid.
Mengenai kesadaran korban dari gaslighting, menurut Astrid, seiring berjalannya waktu korban akan merasa tidak nyaman dengan situasi.
Kemudian, korban akan menyadari tindakan-tindakan pelaku sebagai sesuatu yang manipulatif dan toksik.
Selanjutnya, dari kesadaran tersebut, hal pertama yang dapat dilakukan korban adalah komunikasikan dengan kepala dingin bersama pelaku.
Akan tetapi, pelaku awalnya pasti akan membela dirinya. Astrid lalu mengingatkan agar korban tetap berkomunikasi dengan kepala dingin, juga persuasif.
“Sehingga yang bersangkutan juga menyadari tindakan yang ia lakukan,” ucap Astrid.
Dari sisi pelaku, nyatanya, sadar atau tidaknya pelaku melakukan gaslighting dilatarbelakangi oleh beberapa faktor.
“Faktor yang terjadi bisa karena kebiasaan gaslight yang dilakukan oleh orang tua pelaku semasa kecil atau strategi pelaku agar tidak kehilangan korban,” ungkap Astrid.
Setelah pelaku menyadari tindakan yang ia lakukan, Astrid memberikan tips untuk mengawalnya dengan terus berkomunikasi dan berkomitmen untuk memperbaiki hubungan.
Selain itu, korban juga bisa mengajak pelaku untuk berkonsultasi dengan pakar kesehatan mental.
“Namun, apabila pelaku masih bersikeras bahwa tindakan yang dilakukan bukan sesuatu yang salah, Anda selalu memiliki pilihan untuk undur diri dari hubungan tersebut,” ucap Astrid.
Potongan tips-tips memahami gaslighting di atas dapat Anda dengar lebih lengkap melalui siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Begini Caranya, Menghadapi Pasangan Yang Gaslighting”.
Untuk mengetahui tips-tips dan perspektif kesehatan mental lainnya, dengarkan siniar Anyaman Jiwa setiap hari Rabu dan Jumat di Spotify atau akses melalui tautan berikut https://spoti.fi/3rqDIdn.
Penulis: Fauzi Ramadhan dan Ikko Anata
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.