JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi menyatakan, saat ini baru sekitar 30 persen rumah sakit swasta yang siap mengikuti program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan.
Hal itu lantaran kondisi keuangan tiap RS swasta berbeda-beda.
Ia menyampaikan, rumah sakit harus mengeluarkan dana tambahan agar bisa memenuhi 12 kriteria KRIS.
Mulai dari tiap kamar maksimal diisi 4 tempat tidur, kamar mandi dalam, menjaga suhu ruangan maksimal 26 derajat, hingga menyediakan outlet oksigen di tiap tempat tidur.
“Ada 30 persen rumah sakit yang sudah siap mengikuti KRIS ini,” kata Ichsan dalam program BTalk Kompas TV, Selasa (21/5/2024).
RS swasta juga harus memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan yaitu menyediakan 40 persen dari jumlah kamarnya untuk layanan BPJS Kesehatan dan sisanya untuk umum.
Baca Juga: Gratis, Ini Daftar Alat Bantu Kesehatan yang Bisa Diklaim Peserta BPJS Kesehatan
Ichsan menuturkan, jumlah investasi yang harus dikeluarkan RS swasta berbeda-beda, karena perbedaan struktur bangunan tiap RS.
“Untuk rumah sakit yang tadinya kelas 3, itu satu kamar ada 6 tempat tidur. Lalu saat KRIS berlaku, maksimal hanya boleh 4 tempat tidur. Lalu kamar mandi di dalam, harus dingin. Itu tentu sangat mempengaruhi,” ujarnya.
Menurutnya, semangat pemerintah untuk meningkatkan layanan kesehatan untuk masyarakat dengan menstandarkan fasilitas rawat inap sebenarnya bagus.
Namun banyak RS swasta yang kesulitan untuk memenuhinnya. Karena selama ini tidak ada insentif yang diberikan seperti untuk investasi tanah dan bangunan rumah sakit.
Ichsan menyambut baik jika pemerintah memberikan insentif kepada RS swasta agar bisa memberikan layanan KRIS kepada masyarakat. Apalagi jika pemerintah memberika fasilitas kredit tanpa bunga.
Baca Juga: Simak, Berikut Daftar Layanan Rumah Sakit BPJS Kesehatan yang Tidak Ditanggung KRIS
“Sebetulnya tarif BPJS Kesehatan antara RS pemerintah dengan RS swasta itu hanya selisih 3 persen. Tapi kita di swasta enggak ada insentif investasi tanah, investasi bangunan tidak ada. Kami murni dari swasta,” jelas Ichsan.
“Kalau ada usulan ke depan kita dapat kredit tanpa bunga misalnya, kita dengan senang hati, agar kita bisa meningkatkan layanan dan fasilitas,” tambahnya.
Diberitakan Kompas.tv sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Perpres tersebut mengatur soal KRIS yang merupakan standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan.
Ada 12 kriteria kamar KRIS yang harus didapatkan oleh pasien BPJS saat menjalani rawat inap di rumah sakit.
Baca Juga: Simak, Berikut Daftar Layanan Rumah Sakit BPJS Kesehatan yang Tidak Ditanggung KRIS
Berikut 12 kriteria kamar KRIS merujuk pasal 46A Perpres Nomor 59 Tahun 2024.
Baca Juga: Kemenkes Jelaskan soal Transisi Layanan Kelas BPJS ke KRIS
Beleid yang telah diteken Presiden Jokowi dan diundangkan pada 8 Mei 2024 itu menyebut rumah sakit harus menerapkan kriteria kamar rawat inap KRIS paling lambat 30 Juni 2025.
Dalam jangka waktu sebelum tanggal 30 Juni 2025, rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS sesuai dengan kemampuan rumah sakit.
"Dalam pasal 103B ayat (8), penetapan manfaat, tarif, dan iuran BPJS Kesehatan KRIS ditetapkan paling lambat tanggal 1 Juli 2025," bunyi Perpres 59/2024.
Apabila rumah sakit telah menerapkan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS dalam jangka waktu sebelum tanggal 30 Juni 2025, pembayaran tarif oleh BPJS Kesehatan dilakukan sesuai tarif kelas rawat inap rumah sakit yang menjadi hak peserta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.