JAKARTA, KOMPAS.TV - Belakangan, nama Abdul Mu’ti ramai diperbincangkan semenjak namanya masuk ke dalam bursa calon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tengah isu perombakan kabinet.
Sebelumnya, Abdul Mu’ti pernah menolak posisi Wakil Menteri Kabinet Indonesia Maju pada perombakan kabinet akhir 2020 lalu, karena merasa kapasitasnya belum cukup untuk mengemban amanah tersebut.
Namun dalam dunia pendidikan dan organisasi kemasyarakatan, pria kelahiran 2 September 1968 ini sudah lama malang melintang. Dia menjadi anggota Muhammadiyah sejak 1994. Sosoknya dikenal sebagai tokoh pemikir Muhammadiyah yang moderat dan toleran.
Abdul Mu'ti pernah menjadi bagian dari anggota Dewan Indonesia dan Amerika Serikat pada Agama dan Pluralisme, dan masyarakat eksekutif Konferensi Asia Agama untuk Perdamaian.
Kali ini, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang akrab disapa Mu’ti ini berbagi cerita Ramadan kepada KOMPAS TV.
Bagi Mu’ti, pengalaman berpuasa Ramadan selalu berbeda dan berkesan setiap tahunnya. Namun, ia mengerucutkan pada tiga pengalaman yang paling bermakna.
Baca Juga: Ketika Perang Jawa Berakhir di Bulan Ramadan dan Pangeran Diponegoro Ditangkap
“Pertama, pengalaman puasa di kampung halaman dengan budaya desa dan keberagaman yang relijius,” kata Mu’ti saat dihubungi Jumat (16/4/2021) sore.
Lalu yang kedua ialah pengalaman puasa di negeri orang. Mu’ti pernah menunaikan ibadah puasa saat tengah mengenyam pendidikan S2 di Flinders University, South Australia pada tahun 1996.
“Saya berpuasa dalam masyarakat sekuler. Di sini, komitmen dan kualitas iman memang benar-benar diuji,” kata Mu’ti.
Mu’ti bercerita, saat itu Australia tengah berada di musim panas. Lama puasa bisa mencapai lebih dari 16 jam dengan suhu rata-rata di atas 30 derajat celcius.
“Tidak ada kumandang adzan maghrib, panggilan sahur, dan suasana kultural sebagaimana di tanah air,” kenang Mu’ti.
Hal itulah yang membuat suasana sangat berbeda dengan tradisi puasa yang dijalani di tanah air.
Pengalaman terakhir yang berkesan bagi Mu’ti ialah berpuasa di tengah pandemi Covid-19.
Pandemi mengubah bagaimana berjalannya bulan suci bagi Mu’ti. Sebelumnya, Ramadan penuh dengan aktivitas di luar rumah. Namun, Covid-19 memaksa untuk banyak menghabiskan waktu di dalam rumah bersama keluarga.
“Sebelum Covid-19, Ramadan justru menjadi bulan yang sangat sibuk dan banyak aktivitas di luar rumah. Pada masa Covid-19 tahun lalu, saya merasakan suasana yang sangat berkesan. Saya bisa berbuka puasa, sahur, tadarus, dan Tarawih bersama keluarga hampir setiap hari,” kenangnya.
Namun ia bersyukur, karena pandemi Covid-19 banyak waktu luang di rumah sehingga membuatnya banyak menulis.
“Saya juga bisa kembali berkebun. Ini kebiasaan masa kecil dan hobi yang sudah lama saya tinggalkan karena tingginya kesibukan,” ujar pakar pendidikan ini.
Baca Juga: Kisah Mohammad Hatta, Sahur dengan Telur Jelang Proklamasi Kemerdekaan
Namun begitu, sebagai Muslim, Mu’ti tetap senantiasa berusaha mengamalkan ajaran Islam dengan baik.
Meski pun ada perbedaan mazhab dalam pengamalan ritual. Misalnya, saat salat tarawih. "Saya Tarawih delapan rakaat, sedangkan masyarakat pada umumnya 20 rakaat. Meskipun berbeda, tidak ada ketegangan antara saya dan keluarga dengan masyarakat. Kami hidup rukun dengan semangat toleransi dan tenggang rasa," katanya.
Baca Juga: Menyambut Ramadan, Gubernur Anies Bagi Tugas dengan Keluarga
Selain itu, Mu'ti juga selalu berusaha menghatamkan Alquran setidaknya satu kali saat bulan Ramadan.
"Ini kebiasaan yang ditanamkan ayah sejak kecil. Saya ingat ketika ayah memberi hadiah kopiah setelah saya khatam Alquran," ujarnya mengenang kedekatan dengan sang ayah di masa kecil.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.