JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi akan menyerahkan data 134 nama pegawai pajak yang mempunyai saham di 280 perusahaan kepada Kementerian Keuangan, hari ini, Jumat (10/3/2023).
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, pihaknya sampai Jumat siang belum menerima laporan itu. Namun, jika Inspektorat Jenderal Kemenkeu sudah menerimanya, pasti akan disampaikan ke publik.
"Kalau sudah terima akan kita dalami dan kira-kira sesuai aturan apa yang akan kami lakukan," kata Yustinus dalam Breaking News Kompas TV.
"Nanti detilnya kita cek ya. Kalau Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah (PP) itu enggak ada larangan (PNS punya saham)," ujarnya.
Baca Juga: Andhi Pramono Kepala Bea Cukai Makassar Dipanggil KPK, Anaknya Foya-foya di Australia Viral
Ia menjelaskan, meski tak ada larangan, tetap diperlukan pembatasan pengaturan soal kepantasannya.
"Governance-nya, melaporkan ke atasan langsung biar tidak ada conflict of interest," ucap Yustinus.
Ia berjanji Kemenkeu akan melihat rambu-rambu aturannya.
"Kalau pegawai Kemenkeu usaha catering ya mustinya boleh, enggak ada masalah. Atau buka jasa fotografi enggak ada persoalan," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Pajak Bastanul Siregar mengatakan, pegawai pajak sah-sah saja mempunyai saham untuk investasi. Ia mencontohkan dalam LHKPN banyak PNS menyampaikan memiliki harta dalam bentuk surat berharga.
Baca Juga: KPK Malaysia Tangkap Mantan PM Malaysia Muhyiddin Yassin Kasus Korupsi dan Pencucian Uang
"Surat berharga itu bisa saham bisa juga Surat Berharga Negara (SBN) atau obligasi," kata Bastanul saat dihubungi Kompas TV, Kamis (9/3/2023).
"Ketika PNS punya saham sebenarnya sah-sah saja. Yang enggak boleh itu jika saham itu menjadi alat atau modus PNS untuk mencari uang atau trading harian. PNS itu ya termasuk TNI Polri juga," ucapnya.
Ia menyampaikan, PNS tidak boleh menjadi trader saham harian, karena akan mengganggu konsentrasi mereka bekerja.
"Kalau jadi insider trading itu, misalkan dia pegawai pajak, dia tahu perusahaan X akan dapat proyek dari Direktorat Jenderal Pajak, lalu dia beli duluan saham itu. Jadi saat kinerja saham perusahaan itu bagus karena kerja sama dengan DJP, dia sudah tahu duluan," ujarnya.
Dalam Peraturan Pemerintah No 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, memang tidak disebutkan jika PNS tidak boleh mempunyai saham. Pasal 5 huruf a hanya menyebutkan, PNS dilarang menyalahgunakan wewenang.
Baca Juga: Dana Mencurigakan Rp300 Triliun di Kemenkeu, PPATK: Yang Dipegang Menkeu Itu Dokumen Rekap
Kemudian dalam huruf f PP yang sama tertulis, PNS dilarang untuk memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah.
Bastanul mengakui, dengan tidak adanya pengawasan yang konsisten, masih sulit untuk mencegah PNS menjadi insider trading.
Kecuali pemerintah menerapkan sistem Single Identity Number (SIN) atau Nomor Identitas Tunggal. SIN ini bisa memonitor terjadinya percobaan atau upaya melakukan korupsi.
"Negara seperti Jepang saja masih kesulitan mengatur soal insider trading yang memang rumit ini," ucapnya.
"Tapi dengan adanya SIN, jangankan beli saham, beli mobil bekas saja akan terdeketsi. Akan tercatat di polisi itu lalu terkoneksi ke data di Ditjen Pajak. Sayang Indonesia belum bisa terapkan SIN," ucapnya.
Baca Juga: Sudah Lapor SPT, Jokowi: Uang Pajak untuk Perbaiki Jalan Hingga Subsidi BBM
Bastanul menuturkan, dengan sistem ini semua transaksi bisa terdeteksi. Jadi tidak ada lagi wajib pajak yang bisa menyembunyikan hartanya dan berani melakukan kongkalikong. Karena datanya terbuka. Termasuk para pegawai pajak sendiri tak akan berani.
"Kalau sekarang, misalkan Anda punya tanah 10, lalu yang anda laporkan hanya 5. Apakah pegawai pajak akan tahu? Tidak akan. Mereka juga enggak akan negecek satu-satu," tuturnya.
Bastanul bilang, menerapkan SIN Pajak ini butuh political will. Malaysia, Singapura, Thailand, dan bahkan Estonia sudah menerapkan sistem nomor identitas tunggal ini. Indonesia masih ketinggalan.
"Ini tidak bisa diterapkan karena yang menghambat soal itu ya Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri. Kementerian Keuangan terlihat malas kalau soal pengawasan," ucapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.