Model bisnis seperti itu membuat algoritma Twitter lebih mementingkan hal-hal kontroversial dan emosional, karena menimbulkan interaksi atau engagement yang tinggi.
"Dan ternyata itu men-drive apa? Ya hal-hal yang sifatnya disinformasi jadi banyak, karena itu men-drive engagement jadi tinggi," kata Fahmi seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (4/11/2022).
Fahmi menilai, melalui kebijakan ini Elon Musk mencoba membangun ruang digital yang terbuka dan seimbang bagi semua pihak serta bersih dari akun bot.
Bot atau akun yang diprogram otomatis untuk tujuan tertentu, telah dicurigai sebagai penyebab maraknya penyebaran disinformasi di Twitter.
Pada Mei 2020, hasil studi tim peneliti Carnegie Mellon University menunjukkan, hampir separuh akun Twitter yang menyebarkan konten terkait pandemi Covid-19 kemungkinan adalah bot.
Baca Juga: Pendiri Twitter Jack Dorsey Bikin Medsos Baru "BlueSky", Puluhan Ribu Orang Sudah Antre Mau Pakai
Para peneliti menyaring lebih dari 200 juta twit yang membahas virus corona sejak Januari 2020 dan menemukan bahwa sekitar 45 persen dikirim oleh akun yang berperilaku seperti robot terkomputerisasi daripada manusia.
Sebelum menyelesaikan pengambilalihan Twitter, Elon Musk sendiri sempat melontarkan klaim bahwa 20 persen dari seluruh akun Twitter merupakan akun palsu.
Angka itu empat kali lebih besar dari perhitungan Twitter, yang memperkirakan 5 persen dari jumlah total pengguna aktifnya adalah akun palsu atau spam. Namun, Twitter juga mengatakan bahwa jumlah sebenarnya bisa lebih tinggi dari perkiraan mereka.
"Harapan dia (Elon Musk) yang ingin dibangun di Twitter ini orang-orang (asli) isinya. Selama ini banyak bot dan troll kan, nah mungkin nanti setelah ada verifikasi akan jauh lebih banyak yang orang-orang betulan yang bicara," ujarnya.
Baca Juga: Dipecat Elon Musk, Segini Pesangon Mantan CEO dan Sederet Petinggi Twitter
Menurut Fahmi, pemberian centang biru kepada pengguna yang bersedia membayar juga tidak lantas membuat mereka bebas menyebarkan hoaks atau disinformasi di Twitter.
Dia meyakini Twitter masih menerapkan aturan bahwa label centang biru dapat dicabut apabila pengguna terbukti menyebarkan informasi palsu atau hoaks.
"Enggak kemudian centang biru, bayar 8 dollar AS, Anda bebas bicara apa pun termasuk hoaks, misalnya. Saya kira kok enggak seperti itu semangat awal Elon Musk," tuturnya.
Sumber : Antara, Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.