JAKARTA, KOMPAS.TV- Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo membeberkan sejumlah masalah dalam proyek LRT Jabodebek, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR, Rabu (6/7/2022), yang juga disiarkan secara virtual.
Didiek bahkan menyebut proyek tersebut sebagai beban KAI.
Didiek membeberkan, proyek itu sudah aneh sejak awal, karena penugasan pembayaran dibebankan kepada KAI untuk pembangunan sarana sekaligus infrastrukturnya. KAI adalah operator LRT jika sudah beroperasi nanti.
"Desainnya itu sudah nggak benar dari awal. LRT (Jabodebek) itu menjadi bagian dari kereta api (KAI) dan ini akan menjadi beban," kata Didiek dikutip dari kanal YouTube Komisi V DPR, Kamis (7/72022).
Hal itu diucapkan Didiek, saat menjelaskan proses awal proyek LRT yang dimukai pada 2015. Namun baru mendapat landasan hukum, yaitu Perpres No.49/2017 pada tahun 2017. Namun, kontraktor proyek yaitu Adhi Karya kesulitan menagih biaya pembangunan proyek, karena belum memiliki kontrak dengan dengan Kementerian Perhubungan.
Baca Juga: Canggih, China Gandeng Argentina Bikin LRT Bertenaga Baterai
Proyek tersebut membutuhkan biaya Rp29,9 triliun, namun Menteri Keuangan Sri Mulyani saat itu mengatakan negara belum sanggup untuk membayarnya secara tunai. Akhirnya, pemerintah mengatakan akan membayarnya dengan cara mencicil.
Namun menurut Didiek, hal itu tidak sesuai dengan business model yang diatur oleh Perpres. Berdasarkan Perpres 49/2017, KAI ditugaskan sebagai penyelenggara pengoperasian, perawatan, serta pengusahaan proyek infrastruktur dan sarana LRT yang dijadikan satu proyek.
Dalam Perpres itu, disebutkan jika pembangunan sarana dan prasarana LRT tidak boleh dilakukan secara terpisah. Kalau dananya dicicil, proyek tidak bisa dibangun sesuai ketentuan Perpres karena uangnya terbatas.
Sehingga KAI membutuhkan dana tunai untuk membiayai pembangunan proyek.
Baca Juga: Biaya Pembangunan Membengkak, Tarif LRT Jabodebek Naik
"Jadi kalau dibuka anatomi Perpres 49, memang ini sesuatu yang tidak wajar sebetulnya namun ini dalam rangka menyelesaikan proyek strategis nasional sehingga PSO ini termasuk untuk pengembalian infrastrukturnya,"
Selain itu, untuk pembangunan sarana LRT Jabodebek hanya dibutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun, sementara Rp25 triliun untuk pembangunan prasarananya.
Sebagai pembayar atau pihak yang menyediakan pendanaan, KAI telah mendapatkan dukungan Penyertaan Modal Negara (PMN) sekitar Rp10 triliun. Kemudian, sekitar Rp20 triliun sisanya dibayar melalui kredit sindikasi (gabungan) 15 bank yang dibayarkan oleh KAI, dengan jaminan pemerintah.
Hal ini membebani perusahaan karena perseroan harus berhutang Rp20 triliun untuk menyelesaikan pembangunan.
"Jadi bagaimana kami mengembalikan utang itu kalau tidak di top up oleh pemerintah," sebut Didiek.
Baca Juga: Target Beroperasi Agustus, LRT Jabodebek Layani Penumpang hingga Pukul 23.00
Dalam rapat yang sama, Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Zulfikri mengatakan soft launching LRT Jabodebek batal berlangsung Agustus 2022. Rencananya pada Agustus nanti hanya dilakukan ceremonial showcase atau memamerkan rangkaian LRT.
"Agustus mungkin sifatnya hanya showcase saja. Kami belum bisa merilis apapun terkait pengoperasian atau commercial operating date-nya," kata Zulfikri.
"Oleh karenanya kami sekarang tengah mengupayakan pendampingan dari konsultan Internasional bagaimana kita bisa meyakinkan bahwa pengoperasian LRT Jabodebek ini nanti benar-benar safe, ini yang kita kawal," tambahnya.
LRT Jabodebek awalnya menghabiskan dana sebesar Rp29,9 triliun, namun kemudian bengkak menjadi Rp32,5 triliun.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.