JAKARTA, KOMPAS.TV - Saat ini harga gabah diketahui anjlok karena berada di bawah harga pembelian pemerintah (HPP).
Hal ini terjadi 16 bulan berturut-turut sejak April tahun 2020 lalu.
Salah satu penyebabnya adalah penyerapan gabah/beras oleh Perum Bulog cenderung turun beberapa tahun terakhir.
Realisasi pengadaan beras oleh Perum Bulog dari produksi dalam negeri terus turun.
Dari 2,96 juta ton tahun 2016 menjadi 1,57 juta ton di tahun 2017, lalu di tahun 2018 turun menjadi 1,21 juta ton.
Kemudian turun lagi menjadi 957.694 ton di tahun 2019, dan 752.079 ton di tahun 2020.
Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog Mokhamad Suyamto menyatakan, pengadaan beras oleh Perum Bulog tidak maksimal karena penyalurannya terus turun.
Hal ini ia sampaikan dalam diskusi di Pataka pekan lalu.
Realisasi penyaluran beras untuk program raskin, rastra, atau bansos lain turun dari 3,21 juta ton (2016) menjadi 2,74 juta ton (2017), lalu 1,9 juta ton (2018), dan 1,1 juta ton (2019), seiring meluasnya penyaluran bantuan pangan nontunai (BPNT).
Baca Juga: Penyerapan Terus Lesu, Harga Gabah Petani Anjlok
Dengan kanal yang menyempit, Bulog menghadapi situasi dilematis, terutama terkait dengan fungsinya sebagai stabilisator harga di hulu dan hilir.
Selama ini fungsi tersebut dijalankan dengan menggelontorkan stok ke pasar ketika harga di pasaran naik serta menyerap hasil panen petani ketika harga di tingkat produsen anjlok.
"Penurunan harga gabah/beras turut dipengaruhi oleh produksi yang relatif baik, daya beli masyarakat cenderung turun, dan meluasnya bantuan beras dari pemerintah," kata Suyamto
Adapun, Ketua Dewan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jangkung Handoyo Mulyo mengatakan, ada fakta pengadaan beras produksi dalam negeri turun 5 tahun terkahir.
Harga turun tersebut kemudian berimplikasi pada petani sehingga petani berada dalam posisi tidak terlindungi dan tidak ada insentif bagi produsen untuk tetap berusaha karena harga rendah.
Menurut dia, kebijakan pemerintah semestinya komprehensif dan terintegrasi. Usaha pelaku di hulu (produsen), tengah (operator), dan di hilir harus dijamin agar industri perberasan tetap jalan.
Situasi pandemi bisa jadi pelajaran. Salah satunya ketika banyak negara produsen pangan meningkatkan restriksi dengan menunda komitmen perdagangan internasional.
Negara-negara itu tidak mau mempertaruhkan warga negaranya terkait dengan pangan.
”Betapa pangan harus ditempatkan pada posisi paling penting, bukan karena nilai ekonominya saja, tetapi nilai strategisnya,” ujarnya.
Baca Juga: Penyerapan Bulog Menjelang Panen Raya Gabah di Karawang
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.