Menurut catatan Walhi Papua, peristiwa wabah kelaparan telah berulang kali terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, sejak kemunculan embun beku pertama pada 2015.
“Yang berturut-turut itu mulai 2019, 2020, 2021, dan terakhir 2022, sekarang ini berturut-turut. Kalau yang terjadi tahun 2015 itu hilang, terus muncul lagi di 2019.”
Maikel berpendapat sudah saatnya pemerintah daerah duduk bersama mencari solusi bagi warga yang menggantungkan sumber pangannya terhadap perkebunan.
“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial, juga harus melihat kembali bahwa tempat ini sudah menjadi tempat bencana yang berulang-ulang, jadi apa langkah konkret yang mau dibuat atau direncanakan oleh pemerintah.”
Namun dalam menentukan langkah ini, Walhi juga mengingatkan pentingnya untuk mendengarkan tanggapan masyarakat Lanny Jaya.
"Kalau kita kasih mereka pindah ke tempat yang lain, apa jaminan hidup mereka? Pemerintah harus bisa menjamin itu," kata Maikel.
BPBD Papua juga mendorong pemerintah daerah dan warga lokal mengambil langkah antisipasi.
“Karena ini berulang-ulang, masyarakat yang ada di daerah itu harus membangun lumbung untuk penyimpanan makanan. Lalu mungkin harus dibicarakan di Dinas Pertanian, kira-kira varietas apa yang cocok di situasi daerah seperti itu,” kata Willem Manderi.
Akan tetapi, Mulyadi, dosen ilmu pertanian di Universitas Papua berpendapat, iklim hanyalah salah satu faktor hambatan. Menurutnya, faktor manusia justru berperan lebih besar daripada gejala alam pada ketahanan pangan Papua.
"Berhadapan dengan iklim begitu itu sudah biasa. Akan tetapi menjadi luar biasa ketika saat kehidupan sosial budaya mereka merasa terganggu," kata Mulyadi via telepon.
Dalam sebuah kajiannya, Mulyadi menyebutkan ada berbagai hal, mulai dari aktivitas politik hingga perubahan kebiasaan menyantap nasi yang membuat kearifan lokal di bidang pertanian mulai ditinggalkan. Padahal, kata dia, masyarakat Papua rajin dan tekun dalam berkebun dan berladang.
“Gejala kekurangan pangan terjadi apabila masyarakat itu meninggalkan kebun. Faktor tersebut adalah mengikuti riuh-rendah kegiatan politik lokal seperti Pemilu maupun Pilkada yang biasanya berujung konflik sosial. Diperparah oleh serbuan raskin yaitu beras untuk orang miskin dan murah,” paparnya.
“Sesungguhnya kejadian luar biasa non alam tersebut lebih dikarenakan oleh faktor perubahan perilaku akibat perkembangan iptek dari luar mengganggu kearifan lokal yang sudah digeluti selama ini. Strategi pemecahan masalah kelaparan di Papua masih bersifat jangka pendek dan sementara. Belum menyentuh akar masalahnya yaitu pendekatan sosial budaya,” kata Mulyadi.
Menurutnya, solusi mengatasi bencana kelaparan ada beberapa.
Misalnya, menjadikan kampung-kampung Papua sebagai sentra pertanian lumbung pangan lokal dan ketahanan pangan di Papua tanpa mengganggu nilai-nilai pengetahuan lokal yang mereka miliki.
“Di samping itu diperkuat dengan substitusi Iptek tepat guna disertai dengan manajemen pemasaran. Tentu harus disiapkan tenaga pendamping atau penyuluh terlatih dari pemuda asli setempat.”
Kemudian, menurut Mulyadi, mengembalikan peran pangan lokal Papua sebagai ketahanan pangan nasional.
“Potensi ubi-ubian seperti ubi jalar, keladi, dan sagu sangat besar. Selain untuk kebutuhan pangan setempat juga bisa diekspor untuk bahan dasar industri olahan lainnya.”
“Tentu semuanya tergantung dari political will pemerintah daerah di Papua untuk peduli mencari jalan keluar yang komprehensif dan strategis dalam mengatasi masalah kelaparan mulai dari hulu hingga ke hilir.”
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.