> >

Dua Penyebab Kereta Api Tak Bisa Berhenti Mendadak dan Aturan saat Lewat Palang atau Perlintasan

Teknologi | 23 Juli 2023, 10:34 WIB
Foto ilustrasi. Kereta Api Pandalungan. Sistem pengereman kereta api tak bisa berhenti mendadak. (Sumber: PT KAI)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Usai terjadi kecelakaan antara kereta api dan truk di perlintasan yang berada di Semarang, Jawa Tengah dan Bandar Lampung, Lampung pada Selasa (18/7/2023) lalu, sebagian publik mempertanyakan tentang sistem pengereman kereta api.

Untuk menjawab pertanyaan publik itu, PT Kereta Api Indonesia (Persero) pun menjelaskan cara kerja pengereman kereta api yang tidak bisa mendadak.

Menurut PT KAI, secara sistem pengereman, transportasi kereta api merupakan jenis transportasi yang membutuhkan jarak pengereman agar benar – benar berhenti.

“Berbeda dengan transportasi darat pada umumnya, kereta api memiliki karakteristik yang secara teknis tidak dapat dilakukan pengereman secara mendadak," ujar VP Public Relations KAI Joni Martinus melalui keterangan resmi, Jumat (21/7).

"Untuk itu, kami mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan berhati-hati sebelum melewati perlintasan sebidang,” imbuhnya.

Penyebab kereta api tak bisa mengerem mendadak

1. Panjang dan Berat Rangkaian Kereta Api

Penyebab pertama kereta api tidak dapat berhenti mendadak adalah karena panjang dan bobot kereta api. 

Makin panjang dan berat rangkaian kereta api, maka jarak yang dibutuhkan untuk dapat benar-benar berhenti akan semakin panjang.

Di Indonesia, rata-rata 1 rangkaian kereta penumpang terdiri dari 8-12 kereta (gerbong) dengan bobot mencapai 600 ton, belum termasuk penumpang dan barang bawaannya. 

Dengan kondisi tersebut, maka akan dibutuhkan energi yang besar untuk membuat rangkaian kereta api berhenti.

Baca Juga: Rawan Mogok, Jenis Truk yang Terlibat Kecelakaan Kereta Api di Semarang Dilarang Lewat Rel

2. Sistem Pengereman

Pengereman yang dipakai kereta api di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem jenis rem udara. Cara kerjanya dengan mengompresi udara dan disimpan hingga proses pengereman terjadi. 

Saat masinis mengaktifkan sistem pengereman, udara akan didistribusikan melalui pipa kecil di sepanjang roda dan membuat friksi pada roda. Friksi ini yang akan membuat kereta berhenti.

Walaupun kereta api telah dilengkapi dengan rem darurat, rem ini tetap tidak bisa berhenti mendadak. 

Rem mendadak kereta api hanya menghasilkan lebih banyak energi dan tekanan udara yang lebih besar untuk menghentikan kereta lebih cepat. 

Jadi, meskipun masinis telah melihat ada yang menerobos palang kereta, selanjutnya melakukan proses pengereman, maka tetap akan membutuhkan suatu jarak pengereman agar benar – benar berhenti. 

Hal inilah yang nantinya menyebabkan kejadian tabrakan, apabila jarak pengereman tidak terpenuhi.

Baca Juga: 2 Jalur Sudah Dibuka usai Kecelakaan Kereta Api dengan Truk di Semarang, 1 dengan Kecepatan Terbatas

Selain itu, ada beberapa faktor yang memengaruhi jarak pengereman kereta api.

Pertama, kecepatan kereta api. Semakin tinggi kecepatan kereta api, maka semakin panjang jarak pengereman.

Kedua, kemiringan atau lereng (gradient) jalan rel (datar, menurun, atau tanjakan).

Ketiga, persentase pengereman yang diindikasikan dengan besarnya gaya rem.

Keempat, jenis kereta api. Kereta penumpang memiliki jarak pengereman yang berbeda dengan kereta barang.

Kelima, jenis rem. Ada dua jenis rem kereta api, yakni blok komposit dan blok besi cor.

Keenam, kondisi cuaca. Jarak pengereman kereta api juga dipengaruhi oleh cuaca saat kereta melaju, baik saat panas maupun hujan.

Baca Juga: Hasil Investigasi KNKT soal Kereta Api Brantas Tabrak Truk, Ternyata Human Error karena Sopir Panik

Joni mengatakan, rem pada rangkaian kereta api bekerja dengan tekanan udara. Sistem kinerja rem pada roda dihubungkan ke piston dan susunan silinder. 

Mekanisme yang mengurangi tekanan udara di kereta api akan memaksa rem mengunci dengan roda.

Jika tekanan dilepaskan secara tiba-tiba, maka akan menyebabkan pengereman yang tidak seragam, sehingga rem bekerja lebih dulu dari titik keluarnya udara. 
Pengereman yang tidak seragam dapat menyebabkan kereta atau gerbong tergelincir, terseret, bahkan terguling.

Aturan menyebrang di perlintasan sebidang kereta api agar selamat

Cara melintas di perlintasan sebidang adalah berhenti di rambu tanda "STOP". Kemudian, masyarakat atau pengguna jalan perlu menengok kiri-kanan, untuk memastikan tak ada kereta yang sedang melintas.

"Palang pintu, sirine dan penjaga perlintasan adalah alat bantu keamanan semata," kata Joni. 

Alat utama keselamatan, kata dia, ada di rambu-rambu lalu lintas bertanda "STOP" tersebut. 

"Jadi apabila masyarakat Ketika di perlintasan sudah melihat adanya kereta api walaupun masih jauh, maka seharusnya berhenti terlebih dahulu hingga kereta api tersebut lewat,” tegasnya.

Sesuai dengan UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pasal 114 menyatakan: "Pada perlintasan sebidang antara jalur KA dan jalan, pengemudi wajib:
a. Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup dan/atau ada isyarat lain.
b. Mendahulukan kereta api, dan
c. Memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Apabila penguna jalan raya melanggar aturan tersebut, maka sanksi hukum telah menanti.

Berdasarkan UU No: 22 tahun 2009, pasal 296 yang berbunyi : "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

 

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV, kai.id


TERBARU