Bentara Budaya Yogyakarta Gelar Pameran "Pertemuan", Dibuka hingga 21 September 2023
Jawa tengah dan diy | 20 September 2023, 03:50 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Bentara Budaya menggelar pameran dengan judul “Pertemuan” yang merupakan bentuk apresiasi perjalanan Bentara Budaya selama kurang lebih 40 tahun.
Bentara Budaya telah menjadi wadah untuk para seniman menyampaikan ekspresi melalui karya-karya kesenian. Tentunya, pameran ini terbuka untuk umum dan tidak memungut biaya dari pengunjung.
Pameran telah dibuka pada Jumat, 15 September 2023 lalu di Bentara Budaya Yogyakarta Jl. Suroto No. 2, Kota Baru, Yogyakarta dan akan berlangsung hingga 21 September 2023.
Selama 40 tahun, banyak pertemuan yang terjadi di Bentara Budaya. Pertemuan tersebut direkam dalam berbagai bentuk seperti tulisan, video, maupun foto.
Dalam pameran “Pertemuan” ini, Bentara Budaya mengajak dua puluh seniman muda dan tiga seniman undangan, yaitu:
- Agung Manggis
- AK Harun
- Angga Yuniar S
- Bagus Triyono
- Danang Lemu
- Emma Dessy
- Giring Prihatyasono
- Harindarvati
- Heru Uthantoro
- Ifat Futuh
- Irwan guntarto
- Iskandar Sy
- Mahdi Abdullah
- Nur Ikhsan
- Reza Hasibuan
- Sabar Jambul
- Sigit Ananta
- Sriyadi Srinthil
- Suranto Ipung
- Sugiyo
- Tumaryanto
- Yantoto Warno
- Susilo Budi
Baca Juga: Berlangsung hingga 29 September, Pameran “Lelampah” Putu Sutawijaya Hadir di Bentara Budaya Jakarta
Seniman-seniman ini akan merespons gambar-gambar peristiwa dan kegiatan yang terjadi di Bentara Budaya Yogyakarta selama rentang waktu 40 tahun.
Pameran ini memiliki arti penting bagi Bentara Budaya Yogyakarta karena melibatkan refleksi atas jejak perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh lembaga ini.
Sebelum menghadiri pameran ini, ada baiknya untuk memahami sejarah Bentara Budaya. Bentara Budaya didirikan pada 1982 di Yogyakarta. Awalnya berlokasi di Jalan Sudirman, dekat dengan lokasi Gramedia saat ini.
Pada 1993, kantor Bentara Budaya pindah ke Jalan Suroto No. 2 Kotabaru.
Pada awalnya, Bentara Budaya berfungsi sebagai ruang bagi seni yang sering diabaikan, terutama seni tradisional yang saat itu kesulitan menemukan wadah untuk mengungkapkan eksistensinya.
Dalam perjalanan panjangnya, Bentara Budaya menghadapi berbagai ujian dan tantangan. Namun selama lebih dari empat puluh tahun, Bentara Budaya telah diterima positif oleh masyarakat. Keberhasilan ini tidak hanya terbatas di Yogyakarta, tetapi juga terbentang hingga Jakarta, Solo, dan Bali.
Perjalanan yang panjang ini memiliki banyak catatan penting yang terabadikan dalam bentuk foto. Foto memiliki kemampuan untuk menceritakan berbagai peristiwa, termasuk pertemuan antara seniman-seniman dengan masyarakat umum.
Pertemuan-pertemuan ini memiliki makna sejarah yang penting dalam perkembangan seni saat ini. Bentara Budaya, dari tahun ke tahun, terus menciptakan kisah-kisah baru yang mencerminkan berbagai pandangan dan pemikiran seniman dalam mengekspresikan diri melalui karya-karyanya.
Pada awal berdirinya Bentara Budaya, terdapat pameran dua perupa tradisional yang mewakili era tersebut, yaitu Sastro Gambar dari Magelang dan Tjitro Waloejo dari Solo.
Mereka menciptakan karya-karya tradisional yang unik, di mana Sastro Gambar menggunakan kaca sebagai media lukisannya, sedangkan Tjitro Waloejo melukis di atas kertas dengan tema mitos-mitos pesugihan Jawa.
Kedua seniman ini berhasil menarik perhatian masyarakat luas dan memberikan pemahaman bahwa seniman tradisional memiliki daya tahan terhadap perubahan zaman.
Saat itu, pameran-pameran di Bentara Budaya Yogyakarta menjadi tempat yang ramai dengan kehadiran seniman-seniman modern dari berbagai usia, seperti Affandi, Bagong Kussiodiarja, Sapto Hudoyo, serta seniman-seniman muda yang muncul bersamaan dengan berdirinya ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia).
Baca Juga: Pelukis Ramadhyan Putri Pertiwi Gelar Pameran Kedua di Bentara Budaya Yogyakarta
Pada 1983, berbagai kegiatan seperti pameran Ukir Patung Asmat dan Papua, pameran lukisan Sokaraja, diskusi, dan pertunjukan tari Ben Suharto, pertunjukan ludruk garingan Cak Markeso, dan pertunjukan puisi oleh Hamid Jabbar diadakan di Bentara Budaya.
Tahun 1984, digelar pameran kuningan dari Tumang, Boyolali, pameran keramik Dinoyo Malang, dan pameran lukisan dari Taman Sari Yogyakarta.
Pameran-pameran di Bentara Budaya ini menciptakan peluang bagi banyak seniman dan kelompok seni untuk mendapatkan pengakuan dan menjadi sumber penghasilan ekonomi lokal bagi komunitas seni.
Hal ini tecermin dalam perkembangan kerajinan rotan di Trangsan, Sukoharjo; kerajinan payung di Juwiring, Klaten; kerajinan kain di Troso, Jepara; dan kerajinan lurik di Cawas, Klaten.
Setelah sepuluh tahun berada di kantor lama dekat TB Gramedia, Bentara Budaya Yogyakarta bergabung dengan kompleks Harian Kompas di Jalan Suroto No. 2 Kota Baru.
Selama periode ini, selain memberi tempat untuk seni tradisional, Bentara Budaya juga membuka peluang bagi seniman muda berbakat. Mereka juga mulai menampilkan karya-karya lawasan, yang akhirnya menghasilkan katalog berbentuk buku yang sangat diminati oleh masyarakat.
Bentara Budaya Yogyakarta juga menjadi wadah untuk menyampaikan kritik sosial melalui seni, menggambarkan perubahan dan situasi di masyarakat melalui karya seni.
Salah satu contohnya adalah pameran "Berburu Celeng" karya Djoko Pekik pada 1998, yang menjadi catatan penting dalam dunia seni rupa karena mampu menyuarakan peristiwa dan kondisi di Indonesia.
Pada 2003, lima tahun setelah era reformasi dimulai, kondisi sosial di Indonesia masih mengalami ketidakstabilan dengan banyak peristiwa dan konflik yang terjadi, menjauhkan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Pada tahun itu pula Bentara Budaya Yogyakarta mengadakan pameran tentang “Partai Republik Tulang Belulang dengan Presiden Sumanto, manusia kanibal dari Purbalingga.”
Sekali lagi, pameran ini merupakan pesan kepada negeri ini bahwa situasi saat ini tidak berada dalam keadaan yang baik.
Bentara Budaya Yogyakarta menggunakan seni sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan dan pandangan masyarakat, serta tidak secara langsung menjadi tempat pertemuan bagi berbagai kepentingan.
Bentara Budaya Yogyakarta berperan penting dalam menjadi wadah pertemuan antara berbagai elemen, bahkan pertemuan yang mungkin tersembunyi dalam hati masyarakat dengan seni yang mencerminkannya.
Hasil dari pertemuan berbagai unsur ini dapat membentuk kebiasaan dan karakteristik tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian, Bentara Budaya Yogyakarta menjadi titik pertemuan para seniman dan berperan dalam membentuk ekosistem seni di Yogyakarta.
Salah satu faktor yang menjadikan Bentara Budaya sebagai referensi adalah liputannya di Kompas, yang sering kali memberikan berita tentang kegiatan di Bentara.
Hal ini sangat bermanfaat bagi seniman yang mengadakan pameran karena mendapatkan eksposur yang lebih luas.
Ada banyak kisah dalam sejarah perjalanan Bentara Budaya Yogyakarta yang patut diapresiasi dan diingat.
Pengalaman adalah guru yang berharga, dan Bentara Budaya memiliki banyak pengalaman yang dapat memberikan wawasan bagi kehidupan modern saat ini.
Dengan demikian, Bentara Budaya Yogyakarta mengundang #SahabatBentara untuk datang dan menikmati pameran "Mikul Duwur Mendem Jero - 2 #Pertemuan."
Baca Juga: Bentara Budaya Yogyakarta Pamerkan Karya Seni Tinggi dari Produk Keramik Gagal
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV