Perjalanan Panjang Pria asal Yogyakarta Meminimalisir Penggunaan Plastik Sekali Pakai
Sosial | 11 Februari 2023, 12:35 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Mengatasi masalah sampah plastik bukan sekadar mengelola atau mendaur ulang limbah yang ada, tetapi yang terpenting adalah meminimalisir penggunaannya dari diri sendiri.
Meminimalisir penggunaan plastik sudah sejak belasan tahun dilakukan oleh pria bernama Josh Handani, tepatnya sejak tahun 2008.
Pendiri Rumah Inspirasi Jogja (Rumijo) ini menceritakan bagaimana awalnya ia mencoba menerapkan gaya hidup yang menghasilkan sampah seminimal mungkin.
Pada proses awal, Josh berusaha menghindari penggunaan kantung plastik sekali pakai, termasuk untuk membawa barang belanjaan.
“Jadi gini, proses saya dan anak-anak itu dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Saya pribadi tahun 2008 mulai menolak tas plastik keresek sekali pakai,” ucapnya mengawali pembicaraan melalui aplikasi perpesanan instant WhatsApp, Jumat (10/2/2023).
Kala itu, tak jarang barang-barang belanjaannya bercampur di dalam tas yang ia bawa, mulai dari sayuran, cabai, bawang merah, dan jenis belanjaan lain.
Setibanya di rumah, barulah ia memilah kembali barang-barang belanjaannya. Sesekali ia menemukan cabai yang sudah sedikit membusuk. Biasanya ia menaburkan biji cabai ke halaman rumah, dan membiarkannya tumbuh.
Josh menyadari, yang dilakukannya tersebut memang belum bisa menihilkan penggunaan plastik sekali pakai.
Oleh sebab itu, sejak beberapa tahun lalu, ia mencanangkan holistic minimum waste lifestyle atau gaya hidup yang menghasilkan seminimal mungkin sampah.
“Kemudian kami mencanangkan holistic minimum waste lifestyle, jadi gaya hidup yang secara holistik dalam keseharian menghasilkan seminimal mungkin sampah atau limbah.”
Saat harus membeli makanan atau lauk di warung, misalnya, ia dan keluarganya membawa rantang dari rumah, dan itu juga dilakukan oleh anak-anaknya saat ini.
Bahkan, ketika membeli telur, yang biasanya sudah terbungkus plastik, ia membukanya dan memasukkan telur-telur itu ke dalam tas belanjaan.
Baca Juga: Warga Kelurahan Kadolokatapi Kota Baubau Daur Ulang Sampah Plastik Jadi Cuan
Pada si penjual, Josh biasanya menyampaikan agarplastik bekass pembungkus telur tersebut digunakan kembali untuk membungkus barang lain.
“Minimal itu sikap yang harus kita lakukan, karena sudah bukan seremonial,” tuturnya.
Ia memiliki prinsip bahwa meminimalisir penggunaan sampah plastik adalah bagian dari merti bumi atau memelihara bumi, sesuai dengan falsafah Jawa, ‘Ibu Bumi Bopo Angkoso’, yang artinya bumi adalah ibu dan angkasa adalah bapak.
“Kita tahu ‘Ibu bumi bopo angkoso’ kan, kalau kita sia-sia (menyia-nyiakan) ibu, ya bopo marah, angkasa marah.”
“Itu yang terjadi kan, ada anomali cuaca dan sebagainya, itu semua berhubungan. Memerti bumi adalah bagian dari mencintai diri sendiri,” lanjutnya.
Daur Ulang Sampah Plastik
Dalam perjalanannya meminimalisir penggunaan plastik, Josh sempat melakukan daur ulang sampah, yang disebutnya dengan DIY Project, do it yourself project, yakni memanfaatkan sampah plastik menjadi barang lain.
Namun, DIY Project bukan menjadi tujuan utamanya. Program itu hanya merupakan transisi untuk memanfaatkan limbah plastik.
Akhirnya ia menghentikan DIY Project tersebut, karena memang program itu bukan goal akhir yang ingin dicapai, dan produksi sampah tetap ada.
“Kedua, kenapa DIY Project tadi kami hentikan? Kita meng-create supply, suplai kerajinan dari barang-barang bekas, tapi demand-nya nggak ada, itu kan jadi masalah,” lanjutnya.
Saat pindah ke rumahnya yang terletak di Gesik, Kalipucang, Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, ia mengaku sempat syok melihat banyaknya sampah di sungai belakang rumahnya.
“itu kan di belakang rumah ada sungai. Kita sempat syok, kok masih ada yang buang sampah di sungai. Jadi kita pilah saja, dan kemudian kami melakukan ecobrick itu.”
Ketika itu, tahun 2016, Josh menyebut ecobrick sebagai proyek botol, karena istilah ecobrick belum muncul, bahkan belum masuk ke Indonesia.
Meski demikian, ia menilai saat ini banyak pembuatan ecobrick yang arahnya ke seremonial semata. Josh bahkan yakin banyak yang tidak berlangsung lama.
“Saya kok yakin ya banyak yang tidak lama. Satu bulan saja melakukan sudah bagus,” ucapnya meragukan.
Kala itu, Josh mempunyai dua tujuan dalam membuat ecobrick. Pertama, menghindari pembakaran limbah plastik, yang akan menimbulkan dioksin, zat pemicu kanker.
Kedua, agar tidak banyak sampah berceceran, sebab ia berpendapat bahwa plastik merupakan biang dari microplastic, yang jika dibiarkan di alam terbuka dapat menyebar.
Satu botol air minum kemasan ukuran 600 mililiter, menurut Josh, dapat menampung hingga 100 lembar kantung plastik.
Waktu itu, setiap Sabtu dan Minggu Josh berkeliling kampung untuk mengumpulkan dan mengunci sampah plastik di dalam botol.
“Tujuannya ya itu tadi, supaya microplastic tidak bertebaran ke mana-mana.”
Berdasarkan hasil penelitian yang ia baca, kandungan microplastik yang terbanyak ada di garam laut, produk yang setiap hari digunakan oleh sebagian besar orang.
Hal itu pula yang kemudian menjadi pemicu Josh memroduksi kaldu berbahan dasar tempe, dengan tujuan menghindari penggunaan garam yang berlebihan.
Tempe yang hampir busuk atau over fermented, juga mengeluarkan umami atau penyedap rasa alami.
Mengenai adanya anggapan bahwa ecobrick merupakan solusi palsu penanganan sampah plastik, Josh menyebut, setidaknya dengan ecobrick ada upaya penanganannya.
“Paling tidak itu ada satu upaya penanganan, yang saya setuju adalah ketika yang dimanage adalah sampah yang sudah terlanjutr diproduksi.”
Selama yang ditangani dengan ecobrick adalah sampah yang sudah terlanjur diproduksi, menurutnya hal itu termasuk upaya penanganan secara nyata.
Berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial, ia memisalkan orang-orang yang terus menerus memroduksi sampah baru.
“Orang-orang yang melakukan di bank sampah, bagaimana kehidupan mereka sehari-hari secara pribadi, memproduksi sampah baru lagi nggak? Kalau iya, ya meleset tujuannya,” kata Josh.
“Nggak ada perubahan, karena masih memroduksi sampah. Esensinya di mana? Kita mau nyelesaikan sampah, tapi kita memroduksi sampah lagi.”
Meski demikian, Josh setuju dengan adanya istilah sampah adalah berkah, dengan catatan, diambil dari sampah yang sudah terlanjur diproduksi.
Dari sampah yang sudah terlanjur diproduksi, menurut dia hanya enam persen yang bisa dikelola, sisanya sebanyak 94 persen masih belum terkelola.
“Itu kemudian saya munculkan angka 694 infinity.”
Angka enam berasal dari persentase sampah sudah terkelola, 94 dari sisa yang belum terkelola, dan infinity dari sampah yang belum terproduksi.
“Infinity itu karena antah berantah ini. Sebaiknya berkahnya jangan ambil dari angka infinity, nggak akan selesai.”
Josh menyadari bahwa untuk meminimalisir limbah plastik, yang harus dilakukan adalah meminimalisir penggunaannya.
Memproduksi Sabun dan Sampo Ramah Lingkungan
Oleh sebab itu, ia pun mengedukasi warga di sekitar tempat tinggalnya untuk mengubah gaya hidup. Termasuk mencoba mengubah demand atau permintaan terhadap barang-barang pabrikan yang dikemas dengan plastik sekali pakai.
Sejak beberapa tahun terakhir, Josh mulai memroduksi sendiri sejumlah barang-barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari pasta gigi, sabun, sampo, sabun cuci, piring, bahkan sedotan, yang ramah lingkungan.
Salah satu alasannya adalah kemasan sampo hingga pasta gigi yang biasanya terbuat dari plastik campuran, tidak bisa didaur ulang maupun dijual oleh bank sampah.
“Semua bahan yang campuran, seperti sachet, bungkus mie instant, bungkus kopi instant, nggak bisa masuk di bank sampah, kata dia.
Kecuali, kalau ada masyarakat yang membuat kerajinan dari bungkus-bungkus bekas itu.
“Masalahnya ya yang saya bilang tadi, mengcreate supply tapi tidak ada demand-nya. Jadi sama aja, akhirnya kebanyakan mangkrak.”
Pasta gigi yang diproduksinya berbahan bubuk arang bambu yang dicampur dengan daun stevia dan pepermint essential oil.
Sejak sekitar lima tahun lalu, Josh dan keluarganya tidak pernah lagi membeli barang-barang tersebut, karena semuanya diproduksi sendiri.
Mereka juga hanya menggunakan minyak kelapa yang diproduksi secara tradisional untuk menghindari penggunaan kemasan plastik sekali pakai.
Selain itu, dengan membeli minyak kelapa buatan warga setempat, mereka juga membantu penjualan para produsen.
“Satu yang saya mau ceritakan juga, waktu awal-awal pandemi, langganan saya di Kulon Progo, simbah-simbah sudah sepuh (tua).”
“Beliau itu berkaca-kaca bilang, ‘Mas maturnuwun nggih, kulo sekeluarga saged ngeliwet (Mas, terima kasih, saya sekeluarga bisa memasak nasi)’, bayangkan itu,” tuturnya.
Minyak kelapa yang dibelinya dari warga bukan hanya digunakan untuk menggoreng, tetapi juga menjadi bahan baku pembuatan sabun ramah lingkungan.
Hingga kini, saat Josh tinggal di Ubud, Bali, ia masih menggunakan cara-cara itu, dan membawa kebiasaannya tersebut ke sana.
Josh tinggal di Ubud pun karena diminta oleh salah satu perusahaan Belanda untuk menjadi konsultan membuat produk-produk ramah lingkungan.
Dengan memroduksi sabun, sampo, serta cabun cuci ramah lingkungan, Josh juga mengaku bebas dari rasa bersalah ketika membuang air limbah bekas cucian ke alam.
Aktivitasnya meminimalisir penggunaan pastik dan melestarikan lingkungan tersebut membuat Josh beberapa kali diundang menjadi pemateri dalam sejumlah kegiatan.
“Saya mulai diundang oleh Dinas Koperasi dan UKM DIY jadi pembicara, kemudian saya sempat ditunjuk menjadi Direktur Desa Preneur. Saya selalu sharing apa praktik yang saya lakukan.”
Pernah ketika ia menjadi pembicara di salah satu kampus di Yogyakarta, saat menjelaskan tentang bagaimana Josh memroduksi dan memasarkan sendiri produk ramah lingkunyannya, ada seorang mahasiswa dari luar negeri yang bertanya.
Mahasiswa asing itu bertanya, bagaimana cara Josh melawan sistem yang ada, sebab barang-barang yang diproduksinya sudah diproduksi oleh sistem raksasa yang ada saat ini.
“Jawaban saya, I don’t fight the system, I create my own system, saya tidak melawan sistem tapi membut sistem saya sendiri.”
Baca Juga: Perempuan di Kulon Progo Ini Sulap Serpihan Kaca dan Plastik Sisa Jadi Batako
“Yang saya buat selama lima tahun ini adalah permanent culture, pasta gigi itu permanen, sabun itu permanen, sampo juga permanen,” tutur Ketua Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia itu.
Kegiatan ekonomi yang dilakukannya selama ini dengan memproduksi dan menjual sabun ramah lingkungan tersebut, kata dia, sudah merupakan ekonomi sirkular, yaitu kegiatan ekonomi yang membuat segala sesuatunya sirkular.
Josh kemudian mengajak untuk kembali pada sosial budaya bangsa Indonesia dalam berbelanja, misalnya membawa botol sendiri saat membeli minyak goreng di warung.
“Misalnya beli minyak goreng, dulu nggak bisa cuma bawa uang saja, tapi juga harus bawa wadah.”
“Itu pernah kita lakukan kok. Kenapa sekarang nggak bisa? Bisa kalau kita mau, masalahnya kita mau atau nggak,” kata dia.
Josh pun mengajak semua pihak untuk merenung, tentang apa new normal kita terhadap perubahan iklim dan masalah sampah plastik, yang notabene sudah puluhan tahun dibicarakan.
“November lalu saya diundang untuk pertemuan dengan Kementerian Lingkungan Hidup juga. Saya membuat perenungan begini, berapa tahun kita ada pandemi covid, saya bilang 2,5 sampai 3 tahun. Sekarang sudah ada new normal.”
“Berapa puluh tahun kita bicara tentang climate change, tentang limbah, tentang sampah, sudah adakah new normalnya?” tanya Josh.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV