Perjalanan Panjang Pria asal Yogyakarta Meminimalisir Penggunaan Plastik Sekali Pakai
Sosial | 11 Februari 2023, 12:35 WIBBerbeda dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial, ia memisalkan orang-orang yang terus menerus memroduksi sampah baru.
“Orang-orang yang melakukan di bank sampah, bagaimana kehidupan mereka sehari-hari secara pribadi, memproduksi sampah baru lagi nggak? Kalau iya, ya meleset tujuannya,” kata Josh.
“Nggak ada perubahan, karena masih memroduksi sampah. Esensinya di mana? Kita mau nyelesaikan sampah, tapi kita memroduksi sampah lagi.”
Meski demikian, Josh setuju dengan adanya istilah sampah adalah berkah, dengan catatan, diambil dari sampah yang sudah terlanjur diproduksi.
Dari sampah yang sudah terlanjur diproduksi, menurut dia hanya enam persen yang bisa dikelola, sisanya sebanyak 94 persen masih belum terkelola.
“Itu kemudian saya munculkan angka 694 infinity.”
Angka enam berasal dari persentase sampah sudah terkelola, 94 dari sisa yang belum terkelola, dan infinity dari sampah yang belum terproduksi.
“Infinity itu karena antah berantah ini. Sebaiknya berkahnya jangan ambil dari angka infinity, nggak akan selesai.”
Josh menyadari bahwa untuk meminimalisir limbah plastik, yang harus dilakukan adalah meminimalisir penggunaannya.
Memproduksi Sabun dan Sampo Ramah Lingkungan
Oleh sebab itu, ia pun mengedukasi warga di sekitar tempat tinggalnya untuk mengubah gaya hidup. Termasuk mencoba mengubah demand atau permintaan terhadap barang-barang pabrikan yang dikemas dengan plastik sekali pakai.
Sejak beberapa tahun terakhir, Josh mulai memroduksi sendiri sejumlah barang-barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari pasta gigi, sabun, sampo, sabun cuci, piring, bahkan sedotan, yang ramah lingkungan.
Salah satu alasannya adalah kemasan sampo hingga pasta gigi yang biasanya terbuat dari plastik campuran, tidak bisa didaur ulang maupun dijual oleh bank sampah.
“Semua bahan yang campuran, seperti sachet, bungkus mie instant, bungkus kopi instant, nggak bisa masuk di bank sampah, kata dia.
Kecuali, kalau ada masyarakat yang membuat kerajinan dari bungkus-bungkus bekas itu.
“Masalahnya ya yang saya bilang tadi, mengcreate supply tapi tidak ada demand-nya. Jadi sama aja, akhirnya kebanyakan mangkrak.”
Pasta gigi yang diproduksinya berbahan bubuk arang bambu yang dicampur dengan daun stevia dan pepermint essential oil.
Sejak sekitar lima tahun lalu, Josh dan keluarganya tidak pernah lagi membeli barang-barang tersebut, karena semuanya diproduksi sendiri.
Mereka juga hanya menggunakan minyak kelapa yang diproduksi secara tradisional untuk menghindari penggunaan kemasan plastik sekali pakai.
Selain itu, dengan membeli minyak kelapa buatan warga setempat, mereka juga membantu penjualan para produsen.
“Satu yang saya mau ceritakan juga, waktu awal-awal pandemi, langganan saya di Kulon Progo, simbah-simbah sudah sepuh (tua).”
“Beliau itu berkaca-kaca bilang, ‘Mas maturnuwun nggih, kulo sekeluarga saged ngeliwet (Mas, terima kasih, saya sekeluarga bisa memasak nasi)’, bayangkan itu,” tuturnya.
Minyak kelapa yang dibelinya dari warga bukan hanya digunakan untuk menggoreng, tetapi juga menjadi bahan baku pembuatan sabun ramah lingkungan.
Hingga kini, saat Josh tinggal di Ubud, Bali, ia masih menggunakan cara-cara itu, dan membawa kebiasaannya tersebut ke sana.
Josh tinggal di Ubud pun karena diminta oleh salah satu perusahaan Belanda untuk menjadi konsultan membuat produk-produk ramah lingkungan.
Dengan memroduksi sabun, sampo, serta cabun cuci ramah lingkungan, Josh juga mengaku bebas dari rasa bersalah ketika membuang air limbah bekas cucian ke alam.
Aktivitasnya meminimalisir penggunaan pastik dan melestarikan lingkungan tersebut membuat Josh beberapa kali diundang menjadi pemateri dalam sejumlah kegiatan.
“Saya mulai diundang oleh Dinas Koperasi dan UKM DIY jadi pembicara, kemudian saya sempat ditunjuk menjadi Direktur Desa Preneur. Saya selalu sharing apa praktik yang saya lakukan.”
Pernah ketika ia menjadi pembicara di salah satu kampus di Yogyakarta, saat menjelaskan tentang bagaimana Josh memroduksi dan memasarkan sendiri produk ramah lingkunyannya, ada seorang mahasiswa dari luar negeri yang bertanya.
Mahasiswa asing itu bertanya, bagaimana cara Josh melawan sistem yang ada, sebab barang-barang yang diproduksinya sudah diproduksi oleh sistem raksasa yang ada saat ini.
“Jawaban saya, I don’t fight the system, I create my own system, saya tidak melawan sistem tapi membut sistem saya sendiri.”
Baca Juga: Perempuan di Kulon Progo Ini Sulap Serpihan Kaca dan Plastik Sisa Jadi Batako
“Yang saya buat selama lima tahun ini adalah permanent culture, pasta gigi itu permanen, sabun itu permanen, sampo juga permanen,” tutur Ketua Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia itu.
Kegiatan ekonomi yang dilakukannya selama ini dengan memproduksi dan menjual sabun ramah lingkungan tersebut, kata dia, sudah merupakan ekonomi sirkular, yaitu kegiatan ekonomi yang membuat segala sesuatunya sirkular.
Josh kemudian mengajak untuk kembali pada sosial budaya bangsa Indonesia dalam berbelanja, misalnya membawa botol sendiri saat membeli minyak goreng di warung.
“Misalnya beli minyak goreng, dulu nggak bisa cuma bawa uang saja, tapi juga harus bawa wadah.”
“Itu pernah kita lakukan kok. Kenapa sekarang nggak bisa? Bisa kalau kita mau, masalahnya kita mau atau nggak,” kata dia.
Josh pun mengajak semua pihak untuk merenung, tentang apa new normal kita terhadap perubahan iklim dan masalah sampah plastik, yang notabene sudah puluhan tahun dibicarakan.
“November lalu saya diundang untuk pertemuan dengan Kementerian Lingkungan Hidup juga. Saya membuat perenungan begini, berapa tahun kita ada pandemi covid, saya bilang 2,5 sampai 3 tahun. Sekarang sudah ada new normal.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV