Layakkah Manusia Congkak terhadap Alam?
Budaya | 28 September 2022, 19:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Edward Said pernah menulis dalam Orientalism (1978), “… barat seolah-olah telah menemukan timur, kemudian mendefinisikannya dengan selera barat”.
Pemikiran itulah yang menyebabkan tindakan tidak toleran terhadap adanya perbedaan, khususnya dalam budaya. Hal itu lantas membuat satu pengertian tanpa mempertimbangkan nilai dan moral pada budaya tersebut.
Hal ini dicerminkan oleh Rachel, salah satu tokoh, dalam audio drama siniar Tinggal Nama bertajuk “Mitos Akibat Merusak Sesajen [Ep. 3]”, yang tak sadarkan diri usai menginjak sesajen.
Bila penginjakan sesajen yang dilakukan Rachel dikaitkan dengan “cogito ergo sum” sebagaimana yang dikatakan Rene Descartes dan berartikan “aku berpikir, maka aku ada”, penginjakan itu menjadi representasi dari “manusia sebagai pusat alam semesta”. Tindakannya itu menjadi bernuansa filosofis.
Akan tetapi, perusakan sesajen itu tidak hanya terjadi dalam dunia fiksi, melainkan kenyataan juga. Seperti Hadfana Firdaus yang menendang sesajen masyarakat Lumajang di kawasan bencana Gunung Semeru.
Secara simbolik, sesajen bisa dimaknai sebagai persembahan manusia kepada alam. “Sesajen menjadi tanda syukur atas karunia alam yang telah memberi tanah, air, api, dan udara kepada segenap makhluk,” tulis Putu Fajar Arcana dalam kolom opini Kompas.id.
Baca Juga: Makna Gelar Dada Ma Dopo Malamo untuk Jokowi dari Kesultanan Ternate: Pemimpin yang Bijaksana
Berangkat dari tulisan Putu itu, perusakan sesajen adalah bentuk tindakan intoleran yang bersifat destruktif dan menandakan adanya ideologi radikal. Jauh sebelum diciptakannya tokoh Rachel dan Hadfana Firdaus yang menendang sesajen, Indonesia pernah mengalami peristiwa yang serupa, yaitu pada 21 Januari 1985, kala Candi Borobudur rusak cukup parah akibat ledakan bom teroris.
Untuk menanganinya, pemerintah wajib cepat tanggap. Terlebih, Indonesia menganut kebhinekaan sebagai negara yang menghargai keberagaman. Apabila tindakan dan pemikiran intoleran dibiarkan terus berkeliaran, akan muncul kelompok-kelompok yang menggunakan agama sebagai senjata untuk berkuasa.
Bukan tidak mungkin juga persatuan Indonesia menjadi pecah dan terbelah, dan kemerdekaan yang diperjuangkan susah payah hanya menjadi catatan sejarah. Artinya, ini tidak betul-betul diwujudkan.
Keberagaman dalam Berdoa
Tidak semua orang menguasai doa-doa dan ayat kitab suci. Namun, bukan berarti harapan mereka tidak didengar. Doa-doa itu bisa dilakukan dengan sesajen atau ritual apa pun yang mencerminkan kerendahan hati atas semesta.
Baca Juga: Jembatan Bambu jadi Andalan Warga Kampung Beton Selama Jembatan Mojo Dalam Perbaikan
Sesajen dianggap “sesat” karena ketidakmauan dan ketidakmampuan memahami orang lain sehingga menunjukkan bahwa anggapan ini mencerminkan monopoli atas sifat-sifat ketuhanan.
Jelas akan ada pro-kontra terhadap hal ini. Namun, pro-kontra ini membuktikan pemahaman dan pemaknaan manusia berbeda-beda. Simbol budaya dan kepercayaan kelompok masyarakat tertentu, belum tentu dipahami kelompok masyarakat lain.
“Satu sisi, sesajen dianggap sebagai hal sakral, tetapi di sisi lain dianggap tidak benar dan negatif. Dan ketika emosi keagamaan seseorang tersentuh, bisa jadi itulah yang memicu orang menendang sesajen seperti kasus di Semeru itu,” kata Dhanny Septimawan Sutopo, dikutip dari Kompas.id.
Fenomena penendangan sesajen menjadi pengingat bagi kita bahwa perbedaan itu nyata dan bisa memantik masalah keberlanjutan bila tidak ditangani dengan tepat. Terlebih, sesajen atau bentuk dari kepercayaan merupakan ajaran nenek-moyang.
Ajaran tersebut telah diamalkan dan dipelihara secara turun-temurun meskipun masyarakat telah mengalami modernisasi. Ajaran atau ritual kepercayaan yang turun-temurun itu merupakan tindakan religiositas.
Mengapa Bisa Demikian?
Sebagai tindakan religiositas, ritual kepercayaan tertentu merupakan usaha manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan, dewa-dewi, atau alam semesta. Tindakan ini didorong oleh adanya spiritualisme.
Baca Juga: PBB: Ada Kemungkinan Terjadi Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Muslim Uyghur di Xinjiang
Itu sebabnya, terlepas dunia fiksi atau kenyataan, tindakan Rachel dan Hadfana Firdaus mencerminkan sikap tinggi hati dan menolak tunduk takzim di hadapan semesta.
Dengarkan kisah-kisah true crime dan menyeramkan lainnya hanya melalui siniar Tinggal Nama di Spotify. Di sana juga ada beragam kisah horor hingga biografi yang membuat kamu bergidik ngeri!
Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbarunya. Akses sekarang juga episode “Mitos Akibat Merusak Sesajen [Ep. 3]”.
Penulis: Zen Wisa Sartre dan Ikko Anata
Penulis : Ristiana D Putri Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV