Keributan Suporter Sepak Bola di Yogyakarta, Pakar Psikologi UGM: Anarkis karena Jiwa Massa
Update | 26 Juli 2022, 19:23 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Aksi suporter sepak bola yang terlibat keributan di sejumlah titik di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Senin (25/7/2022), menuai tanggapan. Pakar psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Koentjoro menjelaskan bahwa tindakan anarkis mereka terjadi karena dipengaruhi oleh jiwa massa.
“Anarkisme yang terjadi pada suporter bola ini karena jiwa massa,” jelasnya, Selasa (26/7/2022), dilansir dari laman resmi UGM.
Prof Koentjoro menerangkan, seseorang atau individu dapat bersikap berbeda ketika berada di tengah massa atau gerombolan.
Menurut dia, individu akan terdorong untuk berani bertindak aneh ketika berada di tengah gerombolan, dibanding ketika sedang sendiri.
“Jiwa massa ini timbul ketika berada di antara massa dan memunculkan perilaku aneh yang saat dia sendirian tidak akan berani melakukan hal-hal itu,” kata pengajar Psikologi Komunitas dan Perubahan Sosial itu.
Baca Juga: Gibran Sebut Suporter Persis Solo yang Ricuh di Sleman akan Masuk Blacklist, Tak Diberi Tiket Nonton
Ia menambahkan, penggunaan atribut yang menggambarkan diri sebagai bagian dari kelompok massa juga menjadikan seseorang berani melakukan hal-hal yang tidak biasa.
Tak hanya pada suporter bola, kata Prof Koentjoro, hal itu juga terjadi pada kerumunan massa lainnya, misalnya kampanye.
Ia mencontohkan, ketika seseorang berada di tengah aksi massa atau kampanye, secara tidak sengaja atau tak disadari, dia akan mengikuti pemimpin yang meneriakkan kata-kata atau melakukan gerakan tertentu.
“Orang sering kali kehilangan kesadaran saat sudah berkumpul karena terhipnotis lingkungan,” ungkapnya.
Baca Juga: Persis Solo Buka Suara Terkait Insiden Bentrok Suporter di Yogyakarta
Guna mencegah kericuhan massa, Koentjoro menyebutkan pentingnya upaya pengendalian masa dengan cara memecah massa dalam kelompok-kelompok lebih kecil agar jiwa massa tidak terlalu solid.
“Penting memecah massa agar massa tidak terkonsentrasi menjadi satu,” terangnya.
Ia mengatakan, aparat keamanan bisa membuat pengaturan waktu kepulangan suporter dalam beberapa kloter, selain juga mengatur rute untuk memecah kerumunan.
“Kalau jiwa sudah dikendalikan massa, itu kan susah. Apalagi kalau ada penyusup dengan tujuan tertentu seperti adu domba atau pun buat konten biar viral. Ini kan mengerikan. Jadi untuk mencegah kericuhan, perlu memecah konsentrasi massa, baik lewat pengaturan waktu ataupun rute,” pungkasnya.
Baca Juga: Buntut Kericuhan Suporter Persis Solo di Sleman, Gibran Minta Maaf dan Siap Tanggung Jawab
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV