Kisruh POP Merdeka Belajar Kemendikbud hingga Muhammadiyah-NU Mundur, Begini Penjelasan Komisi X DPR
Sosial | 23 Juli 2020, 15:46 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Anggota Komisi X DPR RI, Zainuddin Maliki menanggapi kisruh seleksi penerima dana program organisasi penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Terlebih setelah dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Muhammadiyah-NU menyatakan mundur dari peran serta aktif pada program besutan Kemendikbud itu.
Baca Juga: Begini Alasan dan Pertimbangan Muhammadiyah-NU Mundur dari POP Merdeka Belajar Kemendikbud
Menurut Zainuddin Maliki, pengunduran diri dua ormas terbesar itu adalah hal wajar.
“Karena tidak diberi pengakuan atau rekognisi secara memadai,” ujar Zainuddin kepada awak media, Kamis (23/7/20).
Zainuddin Maliki menjelaskan, Muhammadiyah dan NU itu telah mengabdi sejak negeri ini belum merdeka sehingga tak sulit untuk mendapatkan rekam jejaknya.
“Portofolionya di bidang pendidikan yang luar biasa, telah menyelamatkan wajah negara yang tidak sepenuhnya bisa hadir memberi layanan pendidikan yang dibutuhkan masyarakat,” ujar Zainuddin, seperti dilansir pwmu.co
Menurut Zainuddin, tangisan Teara yang viral misalnya, harusnya bisa dijadikan bahan rekognisi.
Bahkan, perjuangannya untuk tetap bisa kuliah ia lakukan daring di pinggir jalan karena kesusahan sinyal mendapatkan empati dari Rektor, Dekan FEB, dan Kaprodi Universitas Muhammadiyah (UM) Magelang.
UM Magelang telah mendatangi rumah Teara dan memberikan tali asih.
“Seharusnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu tahu hal seperti ini dan menjadikannya bahan penilaian. Tetapi aneh, pengakuan atau rekognisi seperti itu tidak tampak, sehingga untuk POP ini, ormas seperti Muhammadiyah dan NU tidak lebih dipercaya misalnya dari pada Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation yang baru berdiri sekitar lima tahun terakhir,” tutur Zainuddin.
Baca Juga: Muhammadiyah dan NU Kompak Mundur dari POP Kemendikbud, Begini Kata Pengamat
Di samping penetapan ormas penerima POP yang tidak dilandasi rekognisi yang baik, Anggota DPR Fraksi PAN ini juga menilai program guru penggerak tersebut mengkhawatirkan.
Masalahnya dana lebih setengah triliun itu digunakan untuk melatih guru yang sudah berkualifikasi khusus.
“Tanpa kualifikasi khusus tidak mungkin direkrut jadi guru penggerak. Dengan demikian sebenarnya yang mereka latih dan danai adalah guru yang sudah bergerak,” kata Zainuddin.
Mestinya, lanjut Zainuddin, yang harus dipikirkan adalah justru guru yang masih harus digerakkan, di antaranya adalah guru yang belum bersertifikat pendidik.
Zainuddin mengungkapkan, dalam catatannya, setidaknya ada lebih dari 1,5 juta guru yang belum bersertifikat pendidik.
“Seharusnya Menteri Nadiem menjadikan mereka titik tolak dalam melakukan transformasi guru, sehingga urgen untuk dijadikan prioritas alokasi anggaran besar,” kata Zainuddin, menegaskan.
Baca Juga: Muhammadiyah Mundur dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud Karena Tiga Pertimbangan Ini
Ibarat memperkuat mata rantai, Zainuddin menambahkan, maka titik rantai yang paling lemah yang diperkuat, bukan malah menguatkan yang sudah kuat.
“Oleh karena itu jalan transformasi guru akan lebih efektif jika Mendikbud mere-focusing anggaran POP untuk sertifikasi guru dan penting juga anggaran untuk siswa beli pulsa,” kata Zainuddin, memberi saran.
Sementara itu, menanggapi mundurnya Muhammadiyah dan NU, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda justru mempertanyakan masuknya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation sebagai mitra Kemendikbud dalam Program Organisasi Penggerak (POP).
Menurut Syaiful, ada 156 ormas yang dinyatakan lolos verifikasi dengan 183 proposal jenis kegiatan.
Dari jumlah itu, ada Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation.
Mereka masuk organisasi penggerak dengan kategori gajah.
“Dengan demikian, Sampoerna Foundation maupun Tanoto Foundation masing-masing bisa mendapatkan anggaran hingga Rp 20 miliar untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para guru penggerak di lebih 100 sekolah,” kata Huda, Rabu (22/7/2020).
Huda merasa aneh ketika yayasan-yayasan dari perusahaan raksasa itu bisa menerima anggaran dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan guru.
Baca Juga: Soal Muhammadiyah-NU Mundur dari Program Organisasi Penggerak, Ini Tanggapan Kemendikbud
Menurutnya, yayasan-yayasan tersebut seharusnya didirikan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
Dengan semangat CSR, kata Syaiful, mereka seharusnya mengalokasikan anggaran dari internal perusahaan untuk membiayai kegiatan pemberdayaan masyarakat.
“Jangan mereka malah menerima dana atau anggaran negara. Logikanya sebagai CSR, yayasan-yayasan perusahaan tersebut bisa memberikan pelatihan guru dengan biaya mandiri,” ujar Huda.
Huda mengakui, program organisasi penggerak memang bisa diikuti oleh siapa pun yang memenuhi persyaratan.
Kendati demikian, kata dia, harus digarisbawahi bahwa program organisasi penggerak merupakan upaya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan.
Seperti diketahui, Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 567 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih.
Organisasi yang terpilih dibagi kategori III yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp 20 miliar per tahun, Macan Rp 5 miliar per tahun, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun.
Penulis : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV