> >

Kisruh POP Merdeka Belajar Kemendikbud hingga Muhammadiyah-NU Mundur, Begini Penjelasan Komisi X DPR

Sosial | 23 Juli 2020, 15:46 WIB
Ilustrasi peluncuran program organisasi penggerak (POP) bagian dari program merdeka belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI (Sumber: Youtube)

“Seharusnya Menteri Nadiem menjadikan mereka titik tolak dalam melakukan transformasi guru, sehingga urgen untuk dijadikan prioritas alokasi anggaran besar,” kata Zainuddin, menegaskan.

Baca Juga: Muhammadiyah Mundur dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud Karena Tiga Pertimbangan Ini

Ibarat memperkuat mata rantai, Zainuddin menambahkan, maka titik rantai yang paling lemah yang diperkuat, bukan malah menguatkan yang sudah kuat.

“Oleh karena itu jalan transformasi guru akan lebih efektif jika Mendikbud mere-focusing anggaran POP untuk sertifikasi guru dan penting juga anggaran untuk siswa beli pulsa,” kata Zainuddin, memberi saran.

Sementara itu, menanggapi mundurnya Muhammadiyah dan NU, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda justru mempertanyakan masuknya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation sebagai mitra Kemendikbud dalam Program Organisasi Penggerak (POP).

Menurut Syaiful, ada 156 ormas yang dinyatakan lolos verifikasi dengan 183 proposal jenis kegiatan. 

Dari jumlah itu, ada Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation. 

Mereka masuk organisasi penggerak dengan kategori gajah. 

“Dengan demikian, Sampoerna Foundation maupun Tanoto Foundation masing-masing bisa mendapatkan anggaran hingga Rp 20 miliar untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para guru penggerak di lebih 100 sekolah,” kata Huda, Rabu (22/7/2020).

Huda merasa aneh ketika yayasan-yayasan dari perusahaan raksasa itu bisa menerima anggaran dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan guru. 

Baca Juga: Soal Muhammadiyah-NU Mundur dari Program Organisasi Penggerak, Ini Tanggapan Kemendikbud

Menurutnya, yayasan-yayasan tersebut seharusnya didirikan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). 

Dengan semangat CSR, kata Syaiful, mereka seharusnya mengalokasikan anggaran dari internal perusahaan untuk membiayai kegiatan pemberdayaan masyarakat.

“Jangan mereka malah menerima dana atau anggaran negara. Logikanya sebagai CSR, yayasan-yayasan perusahaan tersebut bisa memberikan pelatihan guru dengan biaya mandiri,” ujar Huda.

Huda mengakui, program organisasi penggerak memang bisa diikuti oleh siapa pun yang memenuhi persyaratan.

Kendati demikian, kata dia, harus digarisbawahi bahwa program organisasi penggerak  merupakan upaya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan. 

Seperti diketahui, Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 567 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih. 

Organisasi yang terpilih dibagi kategori III yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp 20 miliar per tahun, Macan Rp 5 miliar per tahun, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun.

Penulis : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU