> >

Ketika Wakil Rakyat Bicara Poligami, Kisah DPR-GR 1968

Humaniora | 3 Oktober 2024, 20:00 WIB
Ilustrasi para anggota DPR di masa lalu (Sumber: Kompas.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, terjadi perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Adapun DPR-GR adalah lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk sebagai peralihan dari DPR periode Demokrasi Terpimpin di zaman Seokarno.

Pada periode 1967-1971, DPR-GR terlibat perdebatan cukup hangat soal perkawinan di tanah air, antara lain soal poligami dan  nikah beda agama.

Koran Kompas pada saat itu, menurunkan berita perdebatan tersebut cukup panjang, yang terbit pada 27 Oktober 1968. Berikut beritanya, sesuai ejaan kala itu:   

Baca Juga: Puan Maharani Ajak Anggota dan Pimpinan DPR RI Saling Menghargai Perbedaan

Djakarta, Kompas

PEMANDANGAN Umum para anggauta DPR-GR mengenai ketentuan­-ketentuan pokok perkawinan dan RUU tentang pokok2 pernikahan umat Islam jang dilakukan dalam sidang pleno DPR-GR hari Djumat dan Sabtu telah berlangsung dengan ramai sekali terutama ketika menjinggung soal2 jang berhubungan dengan poligami.

Dari nama2 pembitjara seperti Ibu Sugiarti SH (PNI), Ibu Gani Surjokusumo (PNI), Sri Rohmani Lasmindar (Karya Pembangunan B), Ibu Dr Iswari (Karya Pembangunan C), Ibu G Bagus Oka (Karya Pem A), Nj Dra Maftuhah Joesuf (Partai Muslimin), X.S.M. Ondang (Parkindo), Salman Safo (Murba), Sahat Naenolang SH (Murba), Y.B. Da Costa SH (Khatolik), AKBP Drs Sjafuruddin (ABRI), Drs Zubaedah Muchtar (PSII), Ibu Mahmudah Mawardi (ND), M.H. Mochtar Rosjadi (NU), Moh Kasim A.S. (IPKI). dan Nj.S. Saijo SH (Karya Pem A).

Dapat ditambahkan bahwa RUU tentang ketentuan-ketentuan pokok perkawinan sudah diadjukan sedjak tahun 1958. Selama sepuluh tahun itu, RUU itu telah ramai dibitjarakan untuk kemudian ditarik pula, hingga sampai diadjukan pada sidang ini untuk dibitjarakan lagi.

Poligami ramai dibitjarakan

Nj. Lasmindar dari Fraksi Karja Pembangunan B menjatakan agar dalam hal berpoligami ini ditjantumkan dua sjarat. Sjarat pertama adalah bahwa suami baru dapat menikah lagi dengan wanita lain apabila disetudjui oleh istri jang pertama. Dan jang kedua ialah bahwa istri dapat mengadjukan permohonan tjerai.

Baca Juga: Daftar Lengkap Pimpinan DPR RI Periode 2024-2029: Puan Ketua Didampingi 4 Wakil, Ada Siapa Saja?

Sedang Nj Salyo SH dari Fraski Karya Pembangunan A dalam hal ini berpendapat, bahwa ditjantumkan kata2 “kesetiaan suami kepada istrinja” dalam RUU perkawinan itu menundjukan bahwa kita menudju pada azas monogami. Karena djika suami kawin lagi, maka kata setia itu tak ada artinja lagi.

Pembitjara sebenarnja lebih condong pada dianutnja azas monogami, tetapi karena poligami merupakan suatu azas prinsipil dalam hukum pernikahan Islam, maka pembitjara minta agar diberikan sanksi2 berat terhadap penjelewengan­-penjelewengan jang melanggar azas itu untuk mentjegah terjadinja poligami jang sewenang2. Dikatakan, bahwa bukannja poligami itu tidak baik, tetapi akibat2 dari poligami itu dapat membawa penderitaan jg besar bagi fihak istri.

Saling Bertentangan

Sementara itu V.B. da Costa SH dari Fraksi Katolik menjatakan fraksinja tidak dapat menerima kedua RUU tentang Perkawinan jang diadjukan Pemerintah itu. Sebagai dasar kemukakan bahwa kedua RUU tsb, isinja saling bertentangan satu sama lain dan karena RUU tsb, bertentangan UUD dan Pantjasila.

Sebagai tjontoh dikemukakan pasal 39 dari RUU tentang ketentuan Pokok2 perkawinan jang menjatakan bahwa ketentuan2 dalam UU ini tidak mengurangi segala sesuatu jang ditentukan dalam UU Perkawinan Chusus menurut golongan agama masing2. Sehubungan dengan kedua RUU tsb jang merupakan suatu kesatuan, maka hubungan antara kedua RUU tsb adalah merupakan suatu hierachies jang terbalik. Dan sistim hierachies terbalik tidak dikenal dalam kesatuan perudangan2an kita.

Bagaimana Dengan Mereka Jang Tidak Beragama?

Dikatakan djuga oleh V.B. da Costa SH bahwa RUU tentang Ketentuan2 pokok perkawinan itu hanja memberi kesempatan kepada mereka jang beragama sadjalah jang dapat melaksanakan perkawinan setjara sah. Sehingga bagaimana nasib mereka jang tidak atau belum beragama? Dengan demikian maka kedua RUU itu telah mendjalankan politik baru dan mengindjak jang lain.

Oleh pembitjara dinamakan aneh bahwa kepada orang2 asing diberi kesempatan untuk melangsungkan perkawinan mereka di Indonesia setjara sah, sedangkan kepada bangsa sendiri jang tidak beragama tidak diberi kesempatan untuk melaksanakan perkawinan setjara sah.

Negara Agama

Dihubungkannja dengan UUD dan Pantjasila, maka menurut pembitjara kedua RUU tersebut telah mengambil Pantjasila sebagai titik tolak. Tetapi hasil jang hendak ditjapainja bukanlah Negara Pantjasila, melainkan Negara agama.

Oleh pembitjara kemudian ditanjakan apakah dengan mempertahankan kedua RUU tersebut, Menteri Agama telah menarik kembali Pendjelasan Departeman Agama jang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei jang lalu jang menjatakan bahwa Pemerintah tidak mentjampuri intern agama.

Dikatakan selandjutnja bahwa fraksi Katolik bukannja tidak ingin agar kita memiliki suatu UU Perkawinan, seperti jang telah dituduhkan oleh sementara orang. Telah berkali2 Fraksi Katolik mendesak dan mengetuk hati kaum ibu dan organisasi wanita untuk menjusunnja. Tetapi jg diinginkan oleh Fraksi Katolik adalah UU perkawinan jg baik, jang benar2 mendjamin kebenaran dan keadilan serta jang tidak bertentangan UUD dan Pantjasila.

NU Tolak RUU Pokok Perkawinan

Fraksi PSII dan NU seperti jang diutjapkan baik oleh Dra. Zubaidah Muchtar maupun jg diutjapkan oleh H. Nj. Mahmudah Mawardi, tidak dapat menerima RUU Tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, kedua pembitjara tersebut menghendaki agar undang2 perkawinan ini diatur chusus oleh masing2 agama.

Selama itu. H. Nj. Mahmudah Mawardi menjatakan djuga bahwa diambilnja atau dipergunakannja azas monogami dalam RUU tentang Ketentuan2 Pokok Perkawinan sebagai satu2nja azas pernikahan dirasakannja tidak tepat dan tidak adil serta bertentangan dengan azas poligami jang dianut umat Islam.

Sementara itu, KH. Mochtar Rasjid, seorang pembitjara pria dari fraksi NU menjatakan bahwa keberatan kaum wanita terhadap poligami tidak mengenai sasarannja, karena menurut pembitjara perkawinan itu tidak hanja berkisar pada poligami sadja, jang dianggapnja hanja sebagai suatu fasilitas dan prioritas kaum pria.

Dikatakannja djuga bahwa dengan adanja Sila Ketuhanan Jang Maha Esa maka negara Indonesia itu haruslah diartikan sebagai suatu negara agama (Agama mana? Red) Dengan demikian maka sehubungan dengan RUU pernikahan ini, hanja hukum perkawinan jang dibuat oleh Departemen Agama sadjalah jang paling benar dan sjah. Sedangkan UU Pernikahan jang dibuat oleh Departeman2 lainnja tidaklah sah dan benar.

Berlainan Agama Bukan Penghalang

Nj. Soegyarto SH dari Fraksi PNI berpendapat bahwa seorang laki2 dan wanita jang berlainan agama dan hukum berhak melangsungkan perkawinan dengan tetap mempunjai hak untuk memeluk agamanja masing2 ini adalah sesuai dengan hak azasi manusia, perkawinan sematjam itu dinjatakan sebagai perkawinan tjampuran.

Tentang anak2 jang dilahirkan dalam perkawinan tjampuran itu, maka menurut pembitjara, djika anak2 itu sudah dewasa mereka berhak menentukan agama dan hukum jang kan dianutnja.

Sementara itu. Drs. Sjafaruddin Tan Pono dari Fraksi ABRI berpendapat bahwa perkawinan itu mempunjai dua sifat, jakni sifat sakral keagamaan dan sifat suatu perdjandjian antara dua orang. Sehubungan dengan itu, maka dalam menjusun suatu RUU tentang perkawinan, kita hendaknja membatasi diri pada hal2 jang pokok sadja dan tidak perlu diperintji ke hal2 jang chusus. Dengan mengadakan perintjian itu, kita akan mempersulit diri sendiri. Misalnja tentang poligami dikatakannja apakah djuga harus dibuat suatu ketentuan chusus jang mengharuskan para istri itu untuk tinggal serumah?

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada

Sumber : Harian Kompas


TERBARU