> >

Ketika Wakil Rakyat Bicara Poligami, Kisah DPR-GR 1968

Humaniora | 3 Oktober 2024, 20:00 WIB
Ilustrasi para anggota DPR di masa lalu (Sumber: Kompas.id)

Bagaimana Dengan Mereka Jang Tidak Beragama?

Dikatakan djuga oleh V.B. da Costa SH bahwa RUU tentang Ketentuan2 pokok perkawinan itu hanja memberi kesempatan kepada mereka jang beragama sadjalah jang dapat melaksanakan perkawinan setjara sah. Sehingga bagaimana nasib mereka jang tidak atau belum beragama? Dengan demikian maka kedua RUU itu telah mendjalankan politik baru dan mengindjak jang lain.

Oleh pembitjara dinamakan aneh bahwa kepada orang2 asing diberi kesempatan untuk melangsungkan perkawinan mereka di Indonesia setjara sah, sedangkan kepada bangsa sendiri jang tidak beragama tidak diberi kesempatan untuk melaksanakan perkawinan setjara sah.

Negara Agama

Dihubungkannja dengan UUD dan Pantjasila, maka menurut pembitjara kedua RUU tersebut telah mengambil Pantjasila sebagai titik tolak. Tetapi hasil jang hendak ditjapainja bukanlah Negara Pantjasila, melainkan Negara agama.

Oleh pembitjara kemudian ditanjakan apakah dengan mempertahankan kedua RUU tersebut, Menteri Agama telah menarik kembali Pendjelasan Departeman Agama jang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei jang lalu jang menjatakan bahwa Pemerintah tidak mentjampuri intern agama.

Dikatakan selandjutnja bahwa fraksi Katolik bukannja tidak ingin agar kita memiliki suatu UU Perkawinan, seperti jang telah dituduhkan oleh sementara orang. Telah berkali2 Fraksi Katolik mendesak dan mengetuk hati kaum ibu dan organisasi wanita untuk menjusunnja. Tetapi jg diinginkan oleh Fraksi Katolik adalah UU perkawinan jg baik, jang benar2 mendjamin kebenaran dan keadilan serta jang tidak bertentangan UUD dan Pantjasila.

NU Tolak RUU Pokok Perkawinan

Fraksi PSII dan NU seperti jang diutjapkan baik oleh Dra. Zubaidah Muchtar maupun jg diutjapkan oleh H. Nj. Mahmudah Mawardi, tidak dapat menerima RUU Tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, kedua pembitjara tersebut menghendaki agar undang2 perkawinan ini diatur chusus oleh masing2 agama.

Selama itu. H. Nj. Mahmudah Mawardi menjatakan djuga bahwa diambilnja atau dipergunakannja azas monogami dalam RUU tentang Ketentuan2 Pokok Perkawinan sebagai satu2nja azas pernikahan dirasakannja tidak tepat dan tidak adil serta bertentangan dengan azas poligami jang dianut umat Islam.

Sementara itu, KH. Mochtar Rasjid, seorang pembitjara pria dari fraksi NU menjatakan bahwa keberatan kaum wanita terhadap poligami tidak mengenai sasarannja, karena menurut pembitjara perkawinan itu tidak hanja berkisar pada poligami sadja, jang dianggapnja hanja sebagai suatu fasilitas dan prioritas kaum pria.

Dikatakannja djuga bahwa dengan adanja Sila Ketuhanan Jang Maha Esa maka negara Indonesia itu haruslah diartikan sebagai suatu negara agama (Agama mana? Red) Dengan demikian maka sehubungan dengan RUU pernikahan ini, hanja hukum perkawinan jang dibuat oleh Departemen Agama sadjalah jang paling benar dan sjah. Sedangkan UU Pernikahan jang dibuat oleh Departeman2 lainnja tidaklah sah dan benar.

Berlainan Agama Bukan Penghalang

Nj. Soegyarto SH dari Fraksi PNI berpendapat bahwa seorang laki2 dan wanita jang berlainan agama dan hukum berhak melangsungkan perkawinan dengan tetap mempunjai hak untuk memeluk agamanja masing2 ini adalah sesuai dengan hak azasi manusia, perkawinan sematjam itu dinjatakan sebagai perkawinan tjampuran.

Tentang anak2 jang dilahirkan dalam perkawinan tjampuran itu, maka menurut pembitjara, djika anak2 itu sudah dewasa mereka berhak menentukan agama dan hukum jang kan dianutnja.

Sementara itu. Drs. Sjafaruddin Tan Pono dari Fraksi ABRI berpendapat bahwa perkawinan itu mempunjai dua sifat, jakni sifat sakral keagamaan dan sifat suatu perdjandjian antara dua orang. Sehubungan dengan itu, maka dalam menjusun suatu RUU tentang perkawinan, kita hendaknja membatasi diri pada hal2 jang pokok sadja dan tidak perlu diperintji ke hal2 jang chusus. Dengan mengadakan perintjian itu, kita akan mempersulit diri sendiri. Misalnja tentang poligami dikatakannja apakah djuga harus dibuat suatu ketentuan chusus jang mengharuskan para istri itu untuk tinggal serumah?

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada

Sumber : Harian Kompas


TERBARU