> >

Janji Prabowo-Gibran Jadikan Lumbung Pangan Dunia: Antara Petani Gurem dan Cetak Sawah Baru

Humaniora | 26 September 2024, 06:15 WIB
Meratakan Lahan. Wagimin, seorang petani di Nyamplung, Balecatur, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, meratakan lahan sawah sebelum ditanami padi, Minggu (15/10/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Menuju Senjakala Pertanian

Toto Subandriyo, Pegiat Forum Pengkajian Pangan Pertanian dan Lingkungan (FP3L) dalam tulisannya di Kompas.id, 28 Agustus 2024 lalu menuliskan, saat ini sektor pertanian sedang mengalami senjakal alias redup. Kondisi itu ditandai lima hal. 

Pertama, alokasi anggaran pembangunan kementerian/lembaga (K/L) bidang pangan sangat cekak. Kedua, terjadi penurunan produksi pangan yang sangat signifikan (utamanya beras).

Ketiga, rapuhnya kedaulatan pangan yang ditandai dengan membengkaknya angka impor pangan. Keempat, konversi lahan pertanian ke nonpertanian yang sangat masif. Kelima, terjadi fenomena gerontokrasi di sektor pertanian Indonesia.

"Dalam era transisi pemerintahan Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto, pemerintah dihadapkan pada permasalahan pelik terkait alokasi anggaran pembangunan. Anggaran pembangunan bidang pangan dipangkas demi mengakomodasi program-program presiden terpilih, seperti Program Makan Bergizi dan Minum Susu Gratis yang membutuhkan anggaran Rp 71 triliun pada 2025," tulis Toto.

Baca Juga: PKS Tentukan Sikap Oposisi atau Gabung Prabowo Gibran lewat Majelis Syuro Juni

Belum lagi untuk program-program lain, seperti Food Estate, program Cetak Sawah Baru, program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), serta program Bantuan Pangan bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Fakta tersebut, membuat kondisi pertanian digiring jadi petani gurem. Hal itu sebagai akibat penurunan produksi pangan yang sangat signifikan, utamanya beras, juga menjadi sinyal lain memudarnya sektor pertanian.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), mengacu pada hasil kerangka sampling area tanaman padi Juni 2024, menunjukkan, potensi produksi beras pada Januari-September 2024 mencapai 24,37 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka tersebut menurun 1,78 juta ton dibandingkan dengan realisasi produksi periode yang sama tahun 2023 yang mencapai 26,15 juta ton GKG.

Implikasi dari penurunan produksi beras yang sangat signifikan tersebut membuat angka impor beras membengkak. Berdasarkan data Rencana Proyeksi Neraca Beras Nasional pada Mei 2024, Indonesia berpotensi mengimpor beras sebanyak 5,17 juta ton.

Hingga April lalu telah terealisasi 1,77 juta ton. Sebanyak 3,4 juta ton direncanakan pada periode Mei-Desember 2024. Indonesia akan kembali menjadi negara importir beras terbesar di dunia!

"Sinyal lain yang menunjukkan bahwa dunia pertanian Indonesia tengah menuju senjakala adalah masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Berdasarkan data Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, laju alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian sekitar 102.000 hektar per tahun. Data lain dari BPS menyebutkan, dalam kurun 10 tahun Indonesia kehilangan lahan sawah 1 juta hektar," kata Toto.

Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU