Waketum PAN Sebut Parliamentary Threshold Besar Sebabkan Disproporsionalitas yang Besar
Politik | 4 Maret 2024, 13:20 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas parlemen atau parliamentary trehold (PT).
Viva mengatakan, secara politik, berapapun angka PT tidak berpengaruh pada partainya, karena saat ini perkiraan perolehan suaranya di kisaran tujuh persen.
“Secara politik berapa pun jumlah angka parliamentary treshold bagi PAN tidak ada masalah karena PAN sekarang kira-kira tujuh koma sekian persen,” jelasnya dalam dialog Sapa Indonesia Pagi, Kompas TV, Senin (4/3/2024).
“Tapi menurut saya ada beberapa hal yang prinsip berkaitan dengan treshold atau ambang batas, apakah itu parliamentary treshold atau presidential treshold,” katanya.
Yang pertama, kata dia, dari sisi teori, semakin tinggi ambang batas PT akan menyebabkan semakin besar disproporsionalitas.
Baca Juga: Jokowi soal Suara PSI Naik: Tanyakan ke Partai, Tanyakan ke KPU
Artinya, akan banyak suara sah yang nasional tidak bisa dikonversi menjadi kursi.
Ia pun mencontohkan pemilu tahun 2009, yakni suara sah nasional yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi ada 14,4 persen, kemudian pada tahun 2014 ada 10,6 persen, dan Pemilu 2019 ada 11,12 persen.
“Kita belum tahu berapa nanti angka suara sah yang tidak bisa dijadikan kursi untuk 2024,” ujarnya.
“Meskipun parliamentary treshold ini bersifat tidak nasional, hanya berlaku untuk DPR RI, tidak berlaku untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota, maka dari Mahkamah Konstitusi tidak boleh empat persen, ya menurut akal sehat harus kurang dari empat persen,” bebernya.
Angka itu, kata dia, tidak boleh lebih dari empat persen, karena kalau lebih akan menyebabkan disproporionalitas dalam pemilu.
“Kedua, tidak ada batasan berapa jumlah ideal dari angka parliamentary treshold, karena setiap negara memiliki basis kultural politik masing-masing,” jelasnya.
“Saya dua kali menjadi anggota Pansus RUU Pemilu, perdebatan soal UU Pemilu itu hanya ada lima saja, lima hal prinsip,” tuturnya.
Pertama, soal sistem pemilu. Dua, alokasi kursi per dapil. Tiga, parliamentary treshold. Empat, presidential treshold. Kelima, cara atau model penghitungan suara.
Ia menambahkan, MK sudah beberapa kali mengabulkan gugatan tentang parliamentary treshold, dari 2,5 persen menjadi 3 persen, menjadi 4 persen, dan saat ini tidak boleh 4 persen lagi,.
“Ini yang presidential treshold, dari zaman Nabi Adam, sampai Adam Malik, sampai Malik D’Essential, tidak pernah berubah,” katanya.
“Padahal itu kan open legal policy, sama-sama. Tapi begini, untuk parliamentary treshold, memang ada bahasan dari pansus itu soal penyederhanaan partai politik,” tambahnya.
Baca Juga: Reaksi Jokowi Ditanya soal Lonjakan Suara PSI pada Real Count Sementara KPU
Penyederhanaan partai politik tersebut, menurut Viva, ada banyak tafsir, apakah menyangkut jumlah, atau menyangkut perspektif ideologi.
“Kalau menurut saya, satu, harus mempertimbangkan aspek disproporsionalitas. Jangan sampai pemilu itu disproporsionalitas karena penetapan parliamentary treshold yang tinggi,” harapnya.
Kedua, adalah pengetatan syarat-syarat adimistratif pendirian partai politik peserta pemilu.
Viva menyebut saat ini syarat menjadi peserta pemilu harus diperketat, misalnya untuk pengurus tingkat kecamatan.
“Misalnya 100 persen memiliki pengurus di provinsi, sudah (terpenuhi). 100 persen memiliki pengurus di kabupaten/kota, sudah. Nah yang tingkat kecamatan, sekarang kan cuma 50 persen. Harus ditingkatkan lagi, apakah 80 persen atau 90 persen,” ujarnya.
“Itu harus ditingkatkan lagi, agar apa? Mencegah jangan sampai terjadi suara sah yang hilang. Itu juga mengurangi partai politik abal-abal yang ingin menjadi peserta pemilu tapi tidak punya daya dan upaya,” bebernya.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV