> >

130 WNI Ditangkap karena Bangun Kampung Ilegal di Malaysia, Ditemukan Warung Makan hingga Surau

Peristiwa | 19 Februari 2024, 14:51 WIB
Sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) berjalan menuju bus setibanya dari Malaysia di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (24/2/2023). (Sumber: ANTARA FOTO/Fauzan)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Sebanyak 130 warga negara Indonesia atau WNI dilaporkan ditangkap oleh pihak imigrasi Malaysia di kawasan Shah Alam, Selangor, Malaysia, pada Minggu (18/2/2024).

Juru Bicara Kemlu RI Lalu Muhamad Iqbal membenarkan adanya penangkapan terhadap 130 WNI tersebut. Namun demikian, KBRI Kuala Lumpur belum menerima notifikasi kekonsuleran mengenai penangkapan itu.

“Sekitar 130 WNI ditangkap oleh Imigrasi Malaysia dalam operasi gabungan penyerbuan Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) di Shah Alam, pada 18 Februari pagi,” kata Iqbal melalui pesan singkatnya yang diterima di Jakarta pada Senin (19/2/2024).

Baca Juga: 3 Prajurit TNI Ditangkap di Malaysia, KSAD: Cuma Mau Beli Gas Elpiji Buat Masak Sayur Kok Diributi

Berdasarkan informasi dari laman media sosial Imigrasi Malaysia, 130 WNI yang ditangkap itu terdiri atas 76 laki-laki, 41 perempuan, dan 13 anak-anak, termasuk bayi yang baru berusia 9 bulan.

Iqbal memastikan bahwa segera setelah menerima notifikasi kekonsuleran, KBRI Kuala Lumpur akan memberikan bantuan kekonsuleran.

Termasuk, kata dia, upaya percepatan pemulangan bagi para WNI yang termasuk dalam kelompok rentan tersebut.

Imigrasi Malaysia menyebut operasi dilakukan di permukiman ilegal di dekat perkebunan kelapa sawit di Shah Alam, di mana mereka juga menangkap dua warga negara Bangladesh.

Wakil Direktur Jenderal Imigrasi Malaysia Jafri Embok Taha mengatakan permukiman itu telah berdiri selama empat tahun terakhir dan dilengkapi dengan listrik.

Baca Juga: KPU Setop Hitung Suara Metode Pos dan Kotak Suara Keliling di Kuala Lumpur Malaysia

“Warga negara asing ini diyakini menyewa permukiman ini dari warga lokal, yang juga menyediakan listrik,” ujar Taha seperti dilaporkan Bernama.

“Ketua kampung di sini menyebut mereka membayar sekitar 6.000 ringgit Malaysia (sekitar Rp19,6 juta) per bulan untuk menyewa 0,6 hektare lahan.”

Dia mengatakan, sebagian warga asing yang tinggal di permukiman ilegal tersebut bekerja di bidang jasa pembersihan, restoran, dan konstruksi.

Mereka semua disebut tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah dan telah melebihi izin tinggal di Malaysia.

Taha pun menyebut bahwa operasi penggerebekan pada hari Minggu ini dilaksanakan pada pukul 02.38 pagi dengan melibatkan 220 personel dari berbagai instansi.

Baca Juga: Terungkap, Agen Raup Rp3,3 Miliar dari Selundupkan Warga Rohingya ke Aceh, Modusnya Jadi Imigran

Termasuk, Pasukan Operasi Umum (GOF), dan Departemen Registrasi Nasional, dan kasus ini diselidiki berdasarkan Undang-Undang Imigrasi 1959/63.

"Di pemukiman ilegal ini juga terdapat toko kelontong, warung makan, dan surau (tempat ibadah). Sebagian besar orang asing ini bekerja sebagai petugas kebersihan, pelayan restoran, dan pekerja bangunan di daerah sekitar," katanya.

"Selama operasi yang berlangsung selama tiga jam itu, ada yang memanjat ke atap dan mengunci diri (di dalam rumah) agar tidak ditangkap aparat.”

Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU