Ketika Presiden Soeharto Menceritakan Kedekatannya dengan Liem Sioe Liong
Humaniora | 4 Januari 2024, 06:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Di masa Orde Baru, kedekatan Presiden Soeharto dengan konglomerat Sudono Salim alias Liem Sioe Liong, sudah menjadi pembicaraan di masyarakat. Meski pembicaraan itu sekadar bisik-bisik, namun banyak yang meyakini bahwa Soeharto menjalin kerja sama dengan pengusaha kelahiran Fukien, China, tahun 1916 itu.
Sadar bahwa kedekatannya menjadi pergunjingan di tengah masyarakat, Pak Harto pun berterus terang mengenai hubungan itu.
“Sekarang bisa saya buka (rahasianya- red). Pada tahun 1970-an, Liem Sioe Liong datang pada saya dan minta saran tentang usaha apa yang bisa dilakukannya,” kata Pak Harto di hadapan sekitar 200-an pengusaha anggota KUKMI (Kerukunan Usahawan Kecil dan Menengah Indonesia) di Tapos Bogor, Jawa Barat, Minggu 24 September 1995.
Setelah itu, Pak Harto menceritakan ikhwal Om Liem mengelola Bogasari.
”Namanya Om Liem itu kan pengusaha. Saya mengenalnya mulai di Semarang. Dia datang kepada saya. Dia ngomongnya kan cerat (cedal, red) kan ndak teteh (tidak jelas, red)," kata Pak Harto.
Pak Harto dengan sabar lalu mengutip kembali kalimat-kalimat Om Liem ketika menemuinya dulu, “Pak saya ini kan orang ketja. Mau ketja untuk rakyat. Apa yang halus saya lakukan,” kata Pak Harto menirukan kalimat Om Liem dulu, seperti dikutip dari buku Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 399-402.
Baca Juga: Cerita Pemilu Orde Baru: Kebulatan Tekad PNS Kembali Usulkan Soeharto Jadi Presiden
Menurut Pak Harto, Om Liem minta tugas. Dia mau kerja, tapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
“Saya berikan petunjuk. Saya bilang, kamu jangan hanya dagang cari untung. Tapi harus membangun industri yang dibutuhkan rakyat. Misalnya, pangan. Kita memang sudah memproduksi pangan, tapi bahan pangan lainnya juga masih dibutuhkan. Kamu ada ternan lain untuk mendukung modal?” tanya Pak Harto.
Om Liem menjawab bahwa dia punya teman untuk mendirikan pabrik itu.
“Baik, kalau gitu kamu mendirikan pabrik tepung terigu. Karena pemerintah mempunyai terigu PL 480 (bantuan kredit dari Amerika Serikat untuk gandum, red). Tapi kamu hanya mengolah, yang mengendalikan tetap Bulog," kata Pak Harto.
Jadi, lanjut Pak Harto, sejak dulu memang bukan Om Liem yang mendirikan. Om Liem hanya sebagai tukang jahit saja. Terbukti dia bisa menggunakan dukungan modal dari luar negeri untuk mendirikan industri pangan yang dibutuhkan rakyat. “Ini sudah merupakan salah satu keikutsertaan dalam pembangunan,” kata Pak Harto.
Menurut Kepala Negara, sekarang seolah-olah hanya Om Liem saja yang diberi kesempatan. Padahal, kepada yang lain pun juga diberi kesempatan untuk mendirikan. Pak Harto juga menjelaskan latar-belakang PT Indocement yang sahamnya antara lain dimiliki Liem Sioe Liong, Sudwikatmono dan Ibrahim Risyad. Begitu pula soal semen.
"Pembangunan itu setelah pangan adalah papan. Nah, untuk membangun papan (rumah) ini diperlukan semen. Lalu Om Liem dan teman-temannya mendirikan pabrik semen. Secara kebetulan waktu itu pemerintah sudah menerima investasi dari AS di Cibinong. Investor ini sanggup membangun pabrik semen dengan kapasitas dua juta ton per tahun,” katanya.
Tapi pada permulaan, ujar Presiden, perusahaan ini sanggup membangun pabrik dengan kapasitas 500 ribu ton saja. Investor itu minta sebelum mereka mampu memproduksi 2 juta ton, pabrik lainnya agar tidak diizinkan membangun pabrik.
Baca Juga: Ketika Pak Harto Tegur Ketua Umum Golkar karena Perolehan Suara Merosot Tajam
Menurut Pak Harto, tentu saja permintaan itu tak dikabulkan. Sebab, kebutuhan semen akan terus meningkat. Mereka, kata Pak Harto, berharap agar pabrik di luar negeri terus bisa mengekspor ke Indonesia, lalu kita tidak bisa mandiri.
“Lalu saya panggil grupnya Liem. Kamu sanggup mendirikan pabrik semen?” tanya Pak Harto. “Sanggup,” jawab Om Liem.
Setelah ada kesanggupan dari Om Liem, diberitahu kepada investor AS agar mereka segera memenuhi kapasitas produksinya yakni 2 juta ton semen. Kalau tidak mampu memproduksi 2 juta ton, lebih baik batal saja. Lalu, pabrik dari AS ini dijual kepada pengusaha nasional (grup Om Liem) dan mereka (AS) mundur.
Setelah Soeharto jatuh, hubungan keduanya tak banyak lagi diberitakan. Liem meninggal 10 Juni 2012 di Raffles Hospital, Singapura. Sementara Pak Harto meninggal pada 27 Januari 2008 di Jakarta.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV