> >

Politikus PPP Romahurmuziy Menduga "Approval Rating" Jokowi Sudah Jatuh ke Titik Nadir

Politik | 24 Oktober 2023, 13:25 WIB
Presiden Joko Widodo bersalaman dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat hadir secara langsung dalam pengucapan sumpah jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK masa jabatan 2023-2028 di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK, Jakarta, pada Senin, 20 Maret 2023. (Sumber: Tribunnews)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy menduga "approval rating" alias tingkat persetujuan publik berdasarkan jajak pendapat, terhadap Presiden Joko Widodo sudah jatuh ke titik nadir.

Sebab putusan Mahkamah Konstitusi yang membuat Gibran Rakabuming Raka bisa maju sebagai bakal cawapres direspons negatif oleh publik.

Demikian Romahurmuziy dalam Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Selasa (24/10/2023).

“Memang betul Pak Jokowi ini di dalam beberapa survei beberapa pekan lalu, sampai dengan beberapa pekan lalu, masih memiliki approval rating tinggi dan juga memiliki influencing power sampai dengan 15 persen dari pemilih,” kata Romi, sapaan Romahurmuziy.

Baca Juga: Pengamat: Jokowi Secara Politik dan Kepentingan Sudah Tidak Bersama PDIP

“Tetapi dengan adanya gelombang putusan MK yang dinegativisir oleh para netizen ini, saya kok ragu 15 persen itu masih ada, jangan-jangan itu sudah jatuh ke titik nadir entah berapa,” katanya. 

Oleh karena itu, Romi yang partainya mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pilpres 2024 mengaku tetap optimisitis meskipun tanpa eksistensi Jokowi. Terlebih jika berkaca respons publik pasca-putusan Mahkamah Konstitusi, gelombang sentiment negatif kepada Jokowi begitu tingginya.

“Kalau kita lihat saat Mas Gibran diumumkan atau yang lebih lagi pada saat putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan hari Senin yang lalu, sebenarnya gelombang-gelombang sentimen negatif itu bisa dikatakan 95 persen sampai dengan 99 persen ya,” ujar Romahurmuziy.

Bahkan, sambung Romahurmuziy, tidak ada satu pakar tata negara pun setuju dengan putusan MK yang membuat Gibran Rakabuming Raka akhirnya bisa maju sebagai bakal cawapres.

Baca Juga: Yusril Siap Bantu Prabowo-Gibran di Bidang Hukum: Sekarang Tugas Saya Membantu Putra Pak Jokowi

Sebagai informasi, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan tentang syarat pernah menjadi kepala daerah untuk maju di Pilpres memang menuai kontroversi di publik.

Tidak sedikit pakar hukum tata negara yang merespons keras putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan sebelum diputuskan. Satu di antaranya Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, yang berpendapat Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman harusnya keluar dari majelis untuk sidang putusan tentang batas usia capres-cawapres.

“Dalam undang-undang kalau patut diduga ada konflik kepentingan dan relasi keluarga dia harus mengantisipasi, keluar dari majelis, bukan keluar dari mahkamah konstitusi itu aturannya,” ujar Feri.

“Jadi ketua (Ketua MK -red) juga harusnya bercermin besar, bahwa kalau dia ada di dalam majelis ini, putusan MK akan dikait-kaitkan, direlasi-relasikan dengan keberadaan keponakannya. Oleh karena itu dia juga punya kepentingan untuk menjaga marwah putusan dan peradilan, jadi harus out dia itu.”

 

Sebab, kata Feri, hakim mempunyai posisi yang penting dalam konsep hukum acara Mahkamah Konstitusi.

“Yang kita pahami bersama sebenarnya posisi ketua MK itu sangat penting di dalam rapat permusyawaratan Hakim, dia yang memimpin,” kata Feri.

“Dan kalau ada perimbangan suara, suara terakhir yang diperdengarkan adalah suara ketua MK. Bayangkan kalau kemudian relasi kepentingan ini tidak diantisipasi.”

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU