RPP Kesehatan Dinilai Ancam Perekonomian Ekosistem Tembakau, Pembahasan Diminta Libatkan Publik
Hukum | 13 Oktober 2023, 16:45 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menggelar Halaqah nasional membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif, Kamis (12/10/2023).
Halaqah yang digelar di Jakarta, ini menemukan draft RPP pengamanan zat adiktif dinilai telah mengancam perekonomian ekosistem tembakau.
Pasalnya, dalam draft RPP 2023 tersebut justru memuat makin banyak “pelarangan” (restriksi) secara masif dan eksesif.
"Bahkan, dalam beberapa pasal RPP, produk tembakau diposisikan lebih “terlarang” bagi publik dibandingkan miras, narkoba dan psiktropika," kata Direktur P3M Sarmidi Husna dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/10).
Hal tersebut, kata dia terlihat dalam draft pasal RPP, antara lain: Pasal 441 tentang larangan displai produk tembakau via e-commerce serta larangan penjualan eceran/batang; Pasal 449 tentang larangan beriklan dengan produk tembakau.
Kemudian Pasal 452 tentang larangan sponshorsip produk tembakau untuk kegiatan sosial, pendidikan, olahraga, musik, kepemudaan atau kebudayaan); dan Pasal 453 tentang larangan peliputan dan publikasi media menggunakan produk tembakau.
"Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam tujuh (7) kali putusannya tegas mengkategorikan produk tembakau sebagai “produk legal”," ujarnya.
Tak hanya itu, P3M juga menyoroti isu krusial lain dalam draft RPP tersebut, yakni Pasal 457 ayat 7 tentang pemberian mandat pemerintah kepada Kementerian Pertanian untuk “memaksa” petani tembakau melakukan diversifikasi produk tanaman tembakau dan alih tanam kepada produk pertanian lain.
Pasal tersebut, kata dia, jelas sangat merugikan langsung petani dan tampak mewakili agenda “korporasi asing” yang sekedar mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan sarat dengan narasi blaming the victims.
Ia pun menuding fakta itu membuktikan lemahnya political-will pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak ekonomi social budaya keluarga para petani tembakau sebagai penghasil komoditas unggulan.
“Akibatnya para petani terancam dan mereka selalu menjadi pesakitan dengan stigma penguras anggaran kesehatan, penyebab kematian, dan seterusnya,” ucapnya.
Sarmidi juga mengatakan, pihaknya menyayangkan sikap Kemenkes yang seolah menutup mata terhadap faktaekosistem pertembakuan dan bisnis pertembakauan dari hulu hingga hilir serta multiplier efeknya, telah menjadi tempat bergantung bagi jutaan masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Polemik Pengesahan RUU Kesehatan, Menkes: Saya Terbuka untuk Keluhan dan Masukan
"Juga kontribusi terhadap penerimaan negara cukup besar antara lain dari pendapatan cukai tahun 2022 sebesar Rp. 218,6 T (belum termasuk pajak-pajak) sehingga IHT merupakan komoditi tunggal yang memiliki kontribusi terbesar bagi penerimaan negara dan menyumbang devisa sebesar US$ 1,1 Milyar," jelasnya.
"Padahal kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui berbagai regulasi dalam rangka pengendalian IHT telah cukup berhasil," sambungnya.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, dalam Halaqoh Nasional yang membahas RPP terkait Pengamanan Zat Adiktif tersebut, P3M bersama jejaring aliansi masyarakat sipil, asosiasi petani dan industri tembakau, akademisi, tenaga kesehatan serta tokoh agama, bersepakat merekomendasikan lima hal :
Pertama, pembahasan RPP pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif harus melibatkan partisipasi publik secara luas dan berimbang. Selain itu juga mengeluarkan pasal-pasal terkait Pengamanan Zat Adiktif dari draft RPP 2023 serta dibahas secara terpisah.
Hal ini dikarenakan draft yang ada bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Perkebunan, serta mengancam dan berpotensi mematikan bagi kelangsungan ekosistem dan tata niaga pertembakauan
Kedua, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait pengaman zat adiktif merupakan kebijakan pemerintah yang harus mengacu pada prinsip atau kaidah kemaslahatan umat secara umum, yaitu kebijakan negara atau pemerintah harus mengacu pada kemaslahatan.
Ketiga, perumusan RPP harus mengacu pada prinsip-prinsip Pengayoman, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kekeluargaan, Kenusantaraan, Bhineka Tunggal Ika, Keadilan, Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan, Ketertiban Dan Kepastian Hukum, Dan/Atau Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan, sebagaimana amanat dalam pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Keempat, pemerintah bersama multi-stakeholder merumuskan pasal-pasal alternatif terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang non-diskriminatif, lebih berkeadilan dan berkedaulatan.
Kelima, P3M sebagai inisiator Halaqoh Nasional mendorong terbangunnya jejaring aliansi masyarakat sipil, asosiasi, akademisi, serta tokoh agama untuk advokasi kebijakan tembakau di pusat dan daerah.
Baca Juga: Puan Soal Pengesahan RUU Kesehatan Jadi Undang-undang: Kalau Kurang Puas Masih ada MK
Penulis : Isnaya Helmi Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV