Ketua KPK Firli Bahuri Sebut OTT Kasus Suap Basarnas Sudah Sesuai Prosedur Hukum
Hukum | 29 Juli 2023, 20:17 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan operasi tangkap tangan atau OTT pada Selasa (25/7/2023) hingga penetapan tersangka dalam kasus dugaan suap di Basarnas, telah sesuai prosedur hukum dan mekanisme yang berlaku.
Hal itu disampaikan setelah penetapan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas Letkol Afri Budi Cahyanto, sebagai tersangka oleh KPK, memicu polemik.
KPK dianggap menyalahi prosedur karena tidak melibatkan TNI mengingat terdapat anggota TNI yang terjaring OTT tersebut.
Firli menegaskan seluruh rangkaian kegiatan oleh KPK dalam kegiatan OTT, penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan para pelaku sebagai tersangka, telah sesuai prosedur hukum dan mekanisme yang berlaku.
“Di mana pengertian tertangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya,” ujar Firli dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/7/2023).
Baca Juga: Mantan Penyidik KPK Minta Dirdik KPK Asep Guntur Tak Mundur, Ini Alasannya
Dia mengatakan dalam OTT pada Selasa lalu, KPK mengamankan sebelas orang beserta barang bukti transaksi dugaan suap berupa uang tunai sejumlah Rp999,7 juta.
“KPK lalu melakukan penyelidikan untuk menemukan peristiwa pidananya, sehingga ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup. Maka KPK kemudian menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dan menetapkan para pihak atas perbuatannya sebagai tersangka,” katanya.
Menurut Firli, setelah dilakukan tangkap tangan, harus sudah dapat ditentukan dan ditetapkan sebagai peristiwa tindak pidana korupsi serta status hukum para pihak terkait, dalam waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam.
Ia memahami dalam kasus OTT tersebut terdapat anggota TNI yang juga memiliki mekanisme peradilan militer.
“Maka dalam proses gelar perkara pada kegiatan tangkap tangan di Basarnas ini, KPK telah melibatkan POM TNI sejak awal, untuk mengikuti gelar perkara sampai dengan penetapan status perkara dan status hukum para pihak terkait,” ucapnya.
KPK, sambung Firli, kemudian melanjutkan proses penanganan perkara yang melibatkan para pihak dari swasta atau non-TNI/militer, dan menyerahkan penanganan perkara yang melibatkan anggota militer/TNI kepada TNI untuk dilakukan koordinasi penanganan perkara lebih lanjut.
Kewenangan KPK dalam mengkoordinasikan proses hukum tersebut, kata Firli, sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UU KPK yang berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum” juncto Pasal 89 KUHAP.
Ia menegaskan, seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh segenap insan KPK, serta berbagai upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi, adalah tanggung jawab penuh pimpinan KPK.
Baca Juga: Polemik Suap Basarnas, Alexander Marwata: Saya Tak Salahkan Tim KPK, Ini Kekhilafan Pimpinan
KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan suap sejumlah proyek di Basarnas.
Dua di antaranya adalah Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi serta Anggota TNI AU sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Namun, Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI menganggap penetapan Henri dan anak buahnya sebagai tersangka merupakan pelanggaran prosedur.
Komandan Puspom atau Danpuspom TNI Marsekal Muda (Marsda) R Agung Handoko mengatakan KPK tidak mempunyai wewenang untuk menangkap dan menetapkan prajurit TNI aktif sebagai tersangka.
“Jadi, menurut kami, apa yang dilakukan oleh KPK dengan menetapkan personel militer sebagai tersangka menyalahi ketentuan (aturan),” kata Marsda Agung dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat (28/7).
Pada hari yang sama, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengaku pihaknya khilaf dalam penetapan tersangka tersebut. Hal itu disampaikan usai rapat bersama Danpuspom TNI beserta jajaran perwira tinggi TNI lainnya.
Tanak mengatakan ada kekeliruan dalam koordinasi kasus ini. Ia pun meminta maaf kepada Panglima TNI Yudo Margono atas peristiwa ini.
"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani," kata Tanak dalam jumpa pers.
"Oleh karena itu kami dari jajaran lembaga pimpinan KPK beserta jajaran sudah menyampaikan permohonan maaf melalui pimpinan dan Puspom untuk disampaikan kepada Panglima (TNI)," ujarnya.
Penulis : Switzy Sabandar Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV