> >

Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Tunggu Tanggung Jawab Negara, BPKN: Pemerintah Harus Minta Maaf

Humaniora | 19 Juli 2023, 22:00 WIB
Wakil Ketua BPKN Muhammad Mufti Mubarok di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Rabut (19/7/2023). (Sumber: KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta negara hadir memberi kompensasi dan permohonan maaf kepada keluarga korban kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) akibat mengonsumsi obat sirop. 

Wakil Ketua BPKN Muhammad Mufti Mubarok menilai sejauh ini belum ada tanggung jawab pemerintah terhadap keluarga korban dan pasien gagal ginjal akut pada anak. 

Mufti menjelaskan dalam kasus kecelakaan kereta api, dan kasus kanjuruhan ditangani dengan baik oleh pemerintah. Namun untuk kasus gagal ginjal pada anak, pemerintah seolah lepas tangan. 

"Negara harus hadir memberikan satu kepasatian hukum dan memberikan pelayanan kompensasi yang terjadi. Kami tidak henti-hentinya meminta pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban, dan kompensasi mengenai urusan perawatan, pemakaman dan kepada keluarga korban itu harus ada tanggung jawab negara," ujar Mufti di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Rabu (19/7/2023).

Mufti menambahkan pemerintah juga tetap bertanggung jawab terhadap pasien yang mengalami kelumpuhan akibat GGPA. 

Baca Juga: 204 Anak Meninggal Karena Gagal Ginjal Akut, Pemerintah Belum Putuskan Duit untuk Santunan

Data Kemenkes pada Februari 2023 terdapat 326 pasien GGPA di 27 provinsi. ada 204 anak yang meninggal akibat GGPA dan 122 anak sehat meskipun tidak pulih seperti semula. 

BPKN menemukan anak yang sudah sembuh tetap masih menjalani perawatan lantaran dampak fatal kasus GGPA, ada anak yang mengalami kebutaan dan lumpuh. 

"Dari sisi UU Perlindungan Konsumen tentu keluarga korban dan pasien tentu harus mendapat kompensasi, karena ini sudah diketahui penyebab kematian atau pasca-sembuh pun itu akbibat GGPA, ini tanggung jawab pemerintah," ujar Mufti. 

Lebih lanjut Mufti telah memberikan laporan kasus kematian gagal ginjal akut dan efek yang diderita pasien akibat cemaran etilen glikol (EG) dan diatilen glikol (DEG) berlebih kepada Komnas HAM, Kemenko PMK hingga Kepala Negara.

Namun hingga saat ini belum ada pertangung jawaban negara nasib keluarga dan pasien. Pihaknya juga meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk mengaudit pegawasan obat.

Baca Juga: 8 Unsur Pelanggaran HAM dalam Kasus Gagal Ginjal Anak

Sebab kasus ini masih terus terjadi lantaran obat yang tercemar EG dan DEG secara berlebih masih beredar di masyarakat. 

Pihaknya juga menyayangkan tidak ada sanksi tegas terhadap industri farmasi yang sengaja melakukan kelalaian. Sanksi yang diberikan hanya administrasi, pencabutan izin. 

"Sebenarnya korban ini bukan 326 pasien dari data Kemenkes, data IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) ada 1.200 lebih, jadi cukup besar. Itu yang lapor ke pemerintah tetapi yang menjadi pasien dan tidak tahu lebih banyak lagi, bisa 3.000 lebih kasus," ujarnya.

"Ini potret negara tidak hadir dan tidak memberikan kepasatian hukum tidak memberikan kompensasi. Menurut saya negara takut karena mereka bersalah, toh penyebabnya sudah diketahi akibat sirop beracun bukan obat sirop," pungkas Mufti. 

 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU