> >

Di Balik Grasi Merri Utami: Lepas dari Tangan Regu Tembak dan Trauma Dengar Suara Pintu Penjara

Hukum | 14 April 2023, 14:42 WIB
Merry Utami, perempuan terpidana mati asal Sukoharjo, Jawa Tengah, tengah menjahit di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Perempuan Semarang, Jawa Tengah, Kamis (21/12/2022). (Sumber: Komnas Perempuan/Kompas.id)

 

JAKARTA, KOMPAS.TV - Setelah mendekam di penjara selama 22 tahun, terpidana kasus narkoba Merri Utama akhirnya mendapatkan grasi dari Presiden Jokowi. Hukuman matinya diubah jadi seumur hidup.  

Kuasa hukum Merri Utami dari LBH Masyarakat, Aisyah Humaida, mengatakan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/G 2023 itu dikeluarkan pada 27 Februari 2023. Namun kabar tentang grasi baru diterima Aisyah lewat Merri pada 24 Maret 2023 melalui sambungan telepon.

Merri terlibat kasus narkoba setelah berkenalan dengan Jerry, lelaki yang mengaku berkebangsaan Kanada, dan berjanji akan menikahinya.

Namun janji tinggal janji, Jerry justru menjebaknya dalam derita panjang. Merri diminta membawa tas dari Nepal ke Indonesia, yang ternyata di dalamnya tersimpan 1,1 kilogram heroin.  

Ketika masuk Bandara Soekarno-Hatta, awalnya Merri merasa tenang. Ia melenggang pulang tanpa tahu apa yang sebenarnya ia bawa.

Namun hari itu, 31 Oktober 2001, barang haram itu ketahuan ketika petugas memeriksa dengan mesin x-ray. Petugas bandara menemukan narkoba jenis heroin.

Merri kemudian ditangkap. Setelah melalui proses peradilan, pada Mei 2002, dia divonis mati. 

Baca Juga: Dipenjara 21 Tahun, Terpidana Mati Kasus Peredaran Gelap Narkotika Merri Utami Terus Cari Keadilan

Rezim berganti. Pada tahun 2015 ketika Presiden Jokowi baru memerintah, ada gembar-gembor menghukum mati para bandar narkoba.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno memastikan segera melaksanakan eksekusi terhadap beberapa terpidana mati. Menurut dia, Presiden Jokowi akan memprioritaskan menghukum mati terpidana kasus narkoba.

"Jadi begini, bapak Presiden kita menghendaki narkoba dulu, karena inilah yang mengancam generasi muda kita," kata Tedjo kepada awak media usai bersilaturahmi ke rumah dinas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Sabtu, 3 Januari 2015.

Maka pada Juli 2016, empat belas terpidana bersiap menghadapai regu tembak. Namun di penghujung waktu, sepuluh terpidana batal dieksekusi.

Salah satu terpidana yang lolos adalah Merri Utami. Sementara seorang bandar besar, Freddy Budiman, menemui ajal di tangan regu tembak.

Ketika nama Merri masuk dalam daftar hukuman mati, petugas membawanya dari LP Tangerang ke Nusakambangan di sel isolasi.

Pemberitahuan mendadak itu terjadi pada 23 Juli 2016. Merri mendapat perintah untuk mempersiapkan diri. Selama lima hari di dalam sel, Merri hanya bisa berdoa dan meminta pendampingan rohaniawan.

Padahal saat itu, pihak pengacara Merri sudah mengajukan grasi dan sedang menunggu jawaban dari Presiden Jokowi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menjelaskan bahwa terpidana mati yang telah mengajukan grasi tidak dapat dieksekusi hingga diterimanya keputusan dari Presiden. Nasib baik masih berpihak padanya, Merri urung dihukum mati.

Namun, Merri mengalami trauma setelah menjalani masa penantian eksekusi di dalam sel. Merri medapatkan siksaan batin yang luar biasa.

Anaknya, Devi yang sudah beranjak dewasa, pernah datang ke Kejaksaan Agung dan meminta agar sang ibu segera dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan khusus wanita di Tangerang.

Devi mengabarkan, sejak dibawa ke Nusakambangan untuk eksekusi mati, ibunya mengalami trauma berat.

Baca Juga: Hukuman Mati di Indonesia Emang Perlu?? | Gerobak Rezeki Ft. Jerry SUCI X

"Kalau untuk ibu saya sangat memprihatinkan keadaannya. Trauma psikologisnya benar-benar yang setiap malam tidak bisa tidur, trauma dengar suara buka pintu," ujar Devi di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu, 21 September 2016.

Devi yang pernah menemui ibunya pada 19 September 2016 mendengar keluhan soal kondisi psikologisnya yang labil ditambah derita asam lambung dan darah tinggi yang kumat. 

Kini Merri mengisi hari-harinya di LP Kelas II A Perempuan Semarang, Jawa Tengah, dengan kegiatan positif seperti menjahit. Dia tetap menyimpan harapan, di sisa umurnya bisa berkumpul bersama anak dan cucunya.

Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU