Belasting Rijder DJP dan Perang Belasting Masyarakat Pribumi Melawan Aturan Pajak Kolonial Belanda
Peristiwa | 27 Februari 2023, 07:51 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus kekerasan yang dilakukan mantan petinggi pajak terhadap anak di bawah umur, menguak gaya hidup mewah sebagian para pegawai di lingkungan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. Yang terbaru, muncul gaya berkendaraan motor gede dirjen pajak dan jajarannya, yang tergabung dalam "Belasting Rijder DJP".
Setelah ramai jadi bahan perbincangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani langsung bereaksi. "Beberapa hari ini beredar di berbagai media cetak dan online foto dan berita Dirjen Pajak Suryo Utomo mengendarai motor gede (moge) bersama klub Belasting Rijder DJP yaitu komunitas pegawai pajak yang menyukai naik motor besar," tulis Sri Mulyani di akun Instagramnya, Minggu (26/2/2023).
Baca Juga: Disemprot Sri Mulyani soal Foto Naik Moge, Segini Kekayaan Dirjen Pajak Suryo Utomo
Terkesan jengah dengan perilaku tersebut, Sri pun meminta dirjen pajak menjelaskan asal-usul hartanya dan klub motor gedenya dibubarkan. "Meminta agar klub Blasting Rijder DJP dibubarkan. Hobi dan gaya hidup mengendarai moge menimbulkan persepsi negatif masyarakat dan menimbulkan kecurigaan mengenai sumber kekayaan para pegawai DJP," kata Sri Mulyani.
Perang Belasting
Kata "Belasting" umum digunakan di zaman kolonial Belanda untuk menyebut "pajak". Makna belasting kala itu berkonotasi negatif karena dipersepsikan dengan upaya pemerintah kolonial memungut upeti dari rakyat. Haji Agus Salim saat duduk di Volksraad (DPR di zaman Belanda) pada tahun 1923, pernah mengeritik keras ketika sejumlah pengusaha Belanda (Ondernemesraad-Voor Nederland Indie) mengusulkan reformasi pajak, salah satu klausulnya pajak warga pribumi lebih tinggi dari warga Eropa.
"Dalam jangka panjang kebijakan ini akan membunuh ke bawah pada mulanya, membunuh ke atas pada akhirnya, dan membunuh hindia kesudahannya," kata Salim yang kala itu berusia 39 tahun.
Reformasi perpajakan Kolonial Belanda itu tak bisa dipisahkan dari peristiwa "Perang Belasting" yaitu pertempuran antara tentara Hindia Belanda dan rakyat Sumatera Barat yang berlangsung pada 15-16 Juni 1908 yang dipicu oleh kenaikan pajak. Perang ini juga disebut perang Kamang, karena terjadi di desa Kamang, Agam, Sumatera Barat.
Mengutip Kompas. Com, kebijakan pajak ini diambil mengingat kondisi keuangan Belanda yang mulai menurun. Salah satu sumber pendapatan Belanda saat itu adalah bisnis kopi yang ada di Sumatera Barat. Namun, bisnis kopi di sana juga sedang mengalami penurunan. Alhasil, pemerintah Belanda menaikkan pajak sebanyak 2 persen kepada masyarakat Sumatera Barat.
Kebijakan ini diumumkan oleh Belanda pada 21 Februari 1908, yang kemudian diberlakukan sejak 1 Maret 1908. Selain menaikkan pajak, Belanda juga menerapkan pajak baru bagi rakyat Sumatera Barat, yaitu pajak kepala, pemasukan barang, rodi, tanah, keuntungan, rumah tangga, penyembelihan, tembakau, dan pajak rumah adat. Kebijakan itulah yang memicu terjadinya pergolakan dari rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda, yang disebut Perang Belasting.
Menghadapi protes keras masyarakat Sumatera Barat, Belanda juga tak mau kalah. Mereka mengirimkan Marsose sehingga pertempuran tak bisa dielakkan hingga menelan korban nyawa.
Perang ini memunculkan seorang tokoh perempuan bernama Siti Manggopoh. Manggopoh nama desa di Lubuk Basung, Kecamatan Agam. Perempuan ini yang berani mengkoordinir perlawanan desa terhadap kesewenang-wenangan Belanda.
Dilihat dari situs desa Manggopoh, Manggopoh. desa.id, tercantum soal perang Belasting. "Rakyat Minangkabau merasa terhina ketika mematuhi peraturan untuk membayar pajak tanah yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Di Minangkabau, tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau," tulis situs tersebut.
Kesewenang-wenangan Belanda dalam memungut pajak di tanah kaum sendiri, membuat rakyat Minangkabau melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut juga tidak bisa dilupakan oleh Belanda, karena adanya sebuah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi Siti Manggopoh pada masa itu, bahkan ia meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh.
Baca Juga: Sri Mulyani Instruksikan Dirjen Pajak Klarifikasi Kekayaan, Imbas Viral Foto Kendarai Moge
Siti Manggopoh memang membangun dirinya dengan kecerdasan sejak kecil. Hal inilah yang dimunculkannya ketika menyusun siasat yang diatur sedemikian rupa. Dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Siti memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV