> >

Tantangan Caleg dalam Proporsional Terbuka dan Tertutup, Biaya Besar hingga Persaingan yang Kompleks

Rumah pemilu | 28 Januari 2023, 07:11 WIB
Ilustrasi pemilu. Soal pemilu ditunda, MUI, PBNU dan PP Muhammadiyah buka suara (Sumber: KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD )

JAKARTA, KOMPAS.TV - Sistem proporsional terbuka memiliki tantangan yang sangat besar, mulai dari peluang calon legislatif tak mumpuni terpilih, hingga persaingan tidak sehat.

Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yanuar Prihatin menilai pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar. 

Yanuar mengakui sisi lain dari proporsional terbuka memang memberi beban berat kepada calon anggota legislatif (caleg) yang diusung partai. 

Beban yang harus dihadapi para caleg yakni soal ongkos politik, anggaran kampanye dan sosialisasi di Pileg hingga persaingan popularitas.

Baca Juga: PSI: Jika Proporsional Tertutup Diterapkan, Prinsipnya Jadi "dari Parpol, oleh Parpol, untuk Parpol"

Namun tidak semua caleg yang lolos ke DPR karena memiliki anggaran yang besar. Banyak kader partai yang memiliki kreativitas, dan mendekatkan diri ke calon pemilih akhirnya lolos menjadi anggota DPR. 

Kemudian tidak sedikit caleg yang minim popularitas, tapi bisa bersaing semisal dengan kalangan publik figur yang sudah lebih dulu terkenal.

"Tidak perlu sebut contohnya siapa tapi faktanya ada caleg yang populer, uang banyak rekam jejak di politik panjang tapi tidak terpilih. Jadi jangan menempatkan biaya politik sebagai variabel tunggal untuk orang menang pemilu," ujar Yanuar di program Dua Arah KOMPAS TV 'Coblos Partai Vs Coblos Caleg', Jumat (27/1/2023) malam.

Di kesempatan yang sama Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor menilai sistem proporsional terbuka rentan akan kepentingan pemilik modal.

Baca Juga: AHY Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Rampas Hak Rakyat

Hal tersebut dilandasi ongkos politik yang besar untuk bisa lolos ke parlemen.  

Afriansyah menjelaskan dalam pengalamannya sebagai caleg, sejak dimulainya sistem proporsional terbuka biaya politik sangat besar.

Bahkan memunculkan persaingan yang tidak sehat antar kader partai yang maju sebagai caleg dalam satu daerah pemilihan. 

Belum lagi adanya ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dalam sistem proporsional terbuka, membuat seluruh caleg dari parpol saling sikut-menyikut.

Baca Juga: Dukung Sistem Proporsional Tertutup Pemilu, PBB Ajukan Gugatan Sebagai Pihak Terkait di MK

"Dengan PT 2,5 persen dan sistem proporsional terbuka di sinilah terjadi persaingan yang luar biasa. Sistem proporsional terbuka saya melihat tidak ada persaingan yang sehat," ujar Afriansyah.

Mengandung kerumitan 

Senada dengan Afriansyah, Politisi PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira menyatakan sistem proporsional terbuka membuat persaingan menjadi berlipat ganda.

Dalam pemilu seharusnya partai lah yang saling berkompetisi, tapi saat ini para caleg harus ikut bersaing dengan caleg partai lain, dan caleg dari partai sendiri.

 

Afriansyah mencontohkan dalam satu daerah pemilihan akan ada 18 partai akan bertarung. Jika satu partai mengusung enam caleg, maka lebih dari 500 caleg dari masing-masing partai maupun internal partai akan bersaing mencari suara agar bisa lolos ke DPR dengan ambang batas parlemen  4 persen. 

Hal inilah yang membuat biaya politik agar bisa dipilih oleh rakyat.

"Jadi dengan proporsional tertutup pemilu itu menjadi sederhana," ujar Afriansyah.
 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU